Jakarta, Gatra.com- Badan pendukung industri perangkat lunak global The Software Alliance, atau dikenal dengan The Boy Scouts of America (BSA) mengimbau agar perusahaan-perusahaan di Indonesia beralih menggunakan perangkat lunak legal dalam batas waktu hingga pertengahan tahun 2020. Bila perangkat ilegal tetap digunakan maka Indonesia akan menghadapi sanksi hukum di bidang hak kekayaan intelektual perangkat lunak.
Para eksekutif BSA dan pejabat-pejabat di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) merencanakan kampanye komunikasi dan inspeksi yang menyeluruh terhadap ketentuan tersebut. Kolaborasi antara BSA dan DJKI ini akan menjangkau perusahaan-perusahaan yang selama ini dikenal menggunakan perangkat lunak ilegal. Dan bagi organisasi yang tidak patuh, DJKI akan melakukan inspeksi.
BSA menawarkan dukungan untuk melakukan transisi ke perangkat lunak legal sebelum inspeksi dilakukan. BSA menyebutkan bahwa perusahaan yang mengaku menggunakan perangkat lunak legal harus dapat menyediakan bukti untuk menghindari masalah hukum. Perusahaan yang tidak patuh dapat dikenakan sanksi hingga 1 miliar rupiah dalam bentuk denda pemerintah, biaya legal dan sanksi-sanksi akibat penggunaan perangkat lunak ilegal, yang termasuk dalam pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta.
“Perusahaan tidak dapat bersaing dalam perekonomian saat ini apabila masih menggunakan perangkat lunak ilegal karena terlalu banyak menimbulkan risiko-risiko hukum, siber dan reputasi,” ujar Direktur Senior BSA, Tarun Sawney dalam keterangan resmi yang diterima GATRA.com, Sabtu (7/3).
Ia mengatakan langkah tersebut bijak untuk menghindari dampak yang buruk dari penggunaan perangkat teknologi ilegal. “Kami di sini hadir untuk membantu perusahaan-perusahaan melakukan transisi ke perangkat lunak legal. Para pemimpin bisnis juga harus secara proaktif menangani masalah penggunaan perangkat lunak ilegal di dalam perusahaan mereka karena dampak-dampak negatif dan potensi kerugiannya terlalu besar untuk diabaikan,” katanya.
Untuk menghindari gangguan bisnis akibat penggunaan perangkat lunak ilegal, para pemimpin bisnis disarankan memastikan lisensi perangkat lunak mereka telah sesuai dengan semua bukti lisensi dan bukti pembelian yang terupdate bila perusahaan mereka diinspeksi oleh DJKI.
Kampanye yang dilakukan BSA bertujuan membidik penggunaan perangkat lunak ilegal yang selama ini dijalankan oleh banyak perusahaan. BSA menyebutkan upaya penegakan hukum di bidang pelanggaran hak atas kekayaan intelektual perangkat lunak akan dilakukan melihat kurang tanggapnya perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam hal tersebut.
Dalam keterangannya BSA menyebut banyak perusahaan di Indonesia yang dihubungi selama enam (6) bulan terakhir gagal beralih ke perangkat lunak legal sehingga membuka lebar kemungkinan serangan malware dan mempertaruhkan reputasi mereka. Malware dari perangkat lunak yang tidak berlisensi menimbulkan kerugian perusahaan secara global mencapai US$359 miliar dolar AS per tahun.
Para CIO perusahaan melaporkan alasan utama memastikan jaringan mereka dilisensikan sepenuhnya adalah untuk menghindari peretasan data dan ancaman keamanan lainnya dari malware. Untuk mengubah sikap lalai para pemimpin bisnis di Indonesia tentang perangkat lunak ilegal, BSA menyarankan para investor, pejabat pemerintah, dan pendukung perlindungan konsumen untuk bersuara menghentikan penggunaan perangkat lunak ilegal.
“Dengan menggunakan perangkat lunak ilegal, perusahaan-perusahaan di Indonesia menciptakan celah untuk serangan malware yang mencuri data konsumen, meretas database e-commerce dan menyedot uang dan data dari akun konsumen,” ucap Tarun.
Ia mengkhawatirkan banyaknya perusahaan Indonesia yang enggan beralih ke perangkat lunak legal sementara banyak dari perusahaan tersebut menyimpan data yang sensitif. “Seperti sektor perbankan dan keuangan, perusahaan teknologi dan e-commerce untuk melakukan tindakan-tindakan pasti untuk beralih ke perangkat lunak legal. Jika mereka tidak beralih ke perangkat lunak legal, pemerintah Indonesia pada akhirnya akan meminta pertanggungjawaban mereka,” sambungnya.
Dibandingkan dengan negara regional ASEAN lainnya, Indonesia tertinggal baik dalam alih perangkat lunak legal maupun keamanan siber. Perusahaan-perusahaan di Filipina, Thailand dan Vietnam mencatat tingkat alih perangkat lunak legal yang jauh lebih tinggi selama masa kampanye ini. Hampir 600 perusahaan di Filipina, lebih dari 600 perusahaan di Thailand dan hampir 400 perusahaan di Vietnam memilih untuk bekerja sama dengan BSA untuk beralih ke aset perangkat lunak legal selama 6 bulan terakhir.
Di Filipina, kampanye yang dilakukan BSA berhasil meniadakan perangkat lunak ilegal dari 38.500 PC. Di Thailand lebih dari 32.100 PC beralih dari perangkat lunak ilegal ke legal, dan di Vietnam hampir 24.000 PC dibersihkan dari perangkat lunak ilegal. “Di Indonesia, kampanye ini menghasilkan kurang dari 6.000 PC yang beralih ke perangkat lunak legal karenanya diperlukan seruan untuk menekankan penegakan hukum,” tandas Tarun.