Bantul, Gatra.com - Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan akan menjadikan sebelas situs Kedaton Mataram Islam di Pleret, Bantul, sebagai museum situs terbuka (open site museum).
Hal ini disampaikan Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan, PLH Kabid Sejarah Bahasa Sastra dan Permuseuman, Dinas Kebudayaan DIY Dian Laksmi Pratiwi usai menerima kunjungan Komisi A DPRD DIY, Selasa (3/3).
"Selama 15 tahun proses ekskavasi, kami mendapatkan sebelas situs yang merupakan peninggalan dari Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung dan diteruskan Amangkurat I," katanya.
Pemda DIY telah menetapkan sebelas situs itu sebagai kawasan cagar budaya Pleret dan dalam tahap perlindungan dan pemanfaatan.
Dian menyatakan, setelah mengakuisisi lahan 4.000 meter persegi, penggalian situs berhasil mengidentifikasi komponen situs dan merekonstruksi gambaran kota kuno sebelum dihancurkan oleh serangan Trunojoyo.
"Kami baru mengetahui ibu kota di Kedaton Pleret adalah representasi dari ibu kota sebelumnya di Kotagede yang kemudian berkembang menjadi pusat ekonomi. Namun di sini Amangkurat I menambahkan danau buatan dengan membendung Sungai Opak yang dinamakan Segoroyoso," jelasnya.
Dian menyatakan, meski kerap dikunjungi murid SMP dan SMA, wisata minat sejarah ke 11 situs itu sangat kurang. Alasannya, pengembangan wisata di Kedaton Pleret terkendala anggaran.
"Jika Kota Gede saat ini telah menjadi museum kehidupan, living museum, kami berharap bisa menjadikan kawasan Kedaton Pleret ini open site museum," ujarnya.
Dengan banyaknya situs dan narasi sejarah di sana, Dian yakin situs Kedaton Pleret mampu menarik wisatawan. Dengan konsep open site museum, turis juga diyakini akan tinggal lebih lama untuk mengetahui nilai sejarah di situs tersebut.
Namun untuk mewujudkan itu, selain dari Pemda DIY dan Bantul, dukungan pihak swasta sangat dibutuhkan.
Usai berkunjung, Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto menyatakan selama ini perencanaan museum oleh Pemda DIY sudah sangat bagus. Namun perencanaan itu tidak didukung dengan riset mendalam karena keterbatasan anggaran.
"Menengok beberapa museum sejarah di luar negeri, riset mendalam mampu menghasilkan narasi otentik dan rekonstruksi tempat-tempat sejarah tokoh terkenal sehingga menjadi objek wisata yang menarik," katanya.
Eko sadar, jika hanya mengandalkan APBD, riset tidak akan maksimal. Karena itu, dia mendorong penggunaan dana keistimewaan DIY untuk pengembangan situs.
"Peran swasta juga tidak bisa ditinggalkan. Banyak BUMN yang seharusnya bisa digandeng untuk mewujudkan keinginan Disbud menjadikan Pleret sebagai open site museum," katanya.