Jakarta, Gatra.com - Publik Indonesia mengenal Ayana Jihye Moon sebagai mualaf cantik asal Korea Selatan. Saat ini, ia tinggal di Indonesia dan menjadi model fesyen muslimah, bahkan duta merek beberapa produk halal Indonesia.
Di banyak sesi wawancara, Ayana sering ditanya perjalanan relijiusnya hingga akhirnya memutuskan menjadi mualaf. Meski begitu, proses hijrahnya selalu menarik karena ia berasal dari negara di mana muslim adalah minoritas. Bahkan, Islam punya kesan yang cenderung negatif karena lekat dengan perang dan terorisme.
Tentu jalan Ayana menjadi muslim tak mulus. Lika-liku itulah yang ia ceritakan dalam buku perdananya "Ayana Journey to Islam". Ia lahir dari keluarga kaya dan berpendidikan. Keluarga ini tak mengenal konsep agama dan tak percaya tuhan. Sederhananya, orang tua Ayana atheis.
Ayana selalu haus ilmu. Ia senang belajar. Tak heran semasa sekolah ia berprestasi dan selalu menjadi murid terbaik.
Awal perkenalan dengan Islam adalah melalui cerita-cerita kakeknya tentang Timur Tengah, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Saat itu, Islam dan Timur Tengah hanya menjadi topik yang menarik minatnya. Ia pergi dari satu seminar ke seminar lain yang membahas kedua hal itu. Dari mendatangi kampus hingga masjid.
Dalam proses pembelajaran itu, hatinya terketuk masuk Islam. Tahun 2020, saat berusia 16 tahun, Ayana mantap mengucap dua kalimat syahadat.
Ia juga pindah ke negara berpenduduk mayoritas muslim. Sebab, pencarian ilmu tentang Islam tak optimal ia dapatkan dari negara kelahirannya. Ayana memilih Malaysia, padahal sudah mengantongi surat lulus dari beberapa universitas top di Korea.
"Kenapa Malaysia? Orang Malaysia bisa bahasa Inggris dan saya dapat (belajar) Islam di sana," ujarnya saat merilis Ayana Journey to Islam, di Jakarta, Minggu (1/3).
Dalam buku tersebut, Ayana bercerita masuk Islam adalah proses berat. Ia yang terbiasa hidup bak tuan putri pun jadi miskin dan sebatang kara gara-gara menjadi mualaf. Karena Islam, Ayana mengalami kegagalan pertama dalam hidupnya. Ia nyaris menyerah dengan keimanannya.
Tak cuma soal Islam, Ayana bercerita tentang budaya di Korea yang berekspektasi tinggi terhadap kesuksesan individu, serta pandangan patriarki yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas 2.
"Saya anak pertama, lahir sebagai perempuan jadi nenek saya tidak senang. Tapi saya paling pintar di antara cucu-cucu kakek-nenek saya. Jadi saya cucu favorit kakek saya," Ayana tertawa dengan bahasa Indonesia yang lancar, namun beraksen Korea.
Meski sudah banyak yang tahu soal perjalanan Ayana mendapat hidayah di berita maupun media sosial, antusiasme publik tetap tinggi menyambut kehadiran buku ini. Saat launching, ratusan Sahabat Ayana hadir di sana. Mereka yang tak dapat kursi pun rela duduk lesehan di karpet saking antusiasnya. Di periode pre-order, bukunya laris dipesan 1000 eksemplar.