Home Politik Pusat Studi Pancasila UGM Bahas Batas Privasi Individu

Pusat Studi Pancasila UGM Bahas Batas Privasi Individu

Sleman, Gatra.com - Tubuh dan pikiran menjadi privasi setiap individu. Perlindungan privasi individu menjadi hal penting, tapi bukan berarti privasi itu bebas sepenuhnya dari intervensi negara.

Hal itu mencuat dalam acara diskusi ‘Bincang Pancasila: Batas-Batas Kontrol Negara atas Tubuh dan Pikiran Warga Negara’ gelaran Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (PSP UGM) di kompleks kampus UGM, Jumat (28/2).

Dalam diskusi ini, Kepala PSP UGM Agus Wahyudi memaparkan bahwa tiap individu memiliki privasi yakni ruang-ruang yang bisa dinikmati secara sendiri baik fisik maupun nonfisik. “Perlindugan terhadap privasi jadi penting karena di sana ada lapisan-lapisan identitas yang berbeda,” ujarnya.

Menurutnya, setiap identitas punya kode etiknya tersendiri dan saling tarik menarik atau bersingungan. Karena itu, tiap lapisan identitas individu tak harus dikemukakan ke publik. Namun ruang privat tak sepenuhnya terlarang untuk diintervensi negara.

Tidak seluruh hal privat itu sepenuhnya privat karena bisa menjadi domain publik di kasus tertentu. “Misalnya kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan pada anak. Ini tidak bisa jadi urusan privat, tetangga bisa lapor polisi,” ujarnya.

Jika privasi itu sepenuhnya dianggap privat, pemahaman itu selaras dengan prinsip toleran tanpa batas, termasuk pada yang tidak toleran, dan arahnya justru menghilangnya toleransi itu sendiri. “Warga negara punya hak tidak toleran pada yang intoleran,” kata dia.

Pada tataran bangsa dan negara, prinsip untuk menyatukan perbedaan dan keberagaman itu dibutuhkan. “DI Indonesia, Pancasila digunakan untuk mempersatukan keberagaman itu. Ini aturan main kita,” ujar dia.

Namun di alam demokrasi muncul pengelompokan-pengelompokan atau faksi tak dapat dihindari. “Ancaman faksi ini dapat dihilang dengan dengan menghapus penyebabnya atau mengendalikan akibatnya,” ujarnya.

Kelompok masyarakat sipil sebenarnya menjadi bagian positif di era demokrasi dan menjadi penengah antara individu dan negara. “Masyarakat sipil harus tumbuh secara sehat karena di sanalah daya cipta muncul,” ujarnya.

Namun masyarakat sipil juga melahirkan faksi atau kelompok yang ‘uncivilized’. Kelompok masyarakat sipil ini secara kontradiktif justru tidak berkontribusi pada demokrasi. “Mereka menyeragamkan sesuatu sesuai standar mereka,” kata dia.

Mereka bahkan melakukan intervensi atas tubuh menggunakan sarana legal dan prosedural dalam negara. Agus mencontohkan gugatan kelompok Aliansi Cinta Keluarga atau AILA atas pasal KUHP termasuk pasal 284 tentang perzinahan. Di pasal ini, aturan yang semula terbatas dalam ikatan pernikahan diminta diperluas untuk mereka di luar pernikahan.

MK menolak gugatan ini sesuai lima putusan hakim. Adapun empat hakim punya pandangan berbeda dan sejalan dengan gugatan AILA, antara lain karena alasan norma agama.

Pro-kontra hal itu patut didiskusikan lebih lanjut. Agus menekankan, masyarakat yang sehat memiliki keseimbangan dalam perbedaan pendapatnya. “Kalau-kalau idenya seragam, masyarakat itu justru tidak sehat,” kata dia.

 

348