Bangkinang, Gatra.com - Tadinya lelaki 41 tahun itu biasa saja menengok kampus Politeknik Kampar di kawasan Batu Belah Kecamatan Bangkinang Kabupaten Kampar itu, Kamis (27/2).
Tapi setelah menengok workshop di belakang rektorat kampus yang sudah berumur 12 tahun itu, bekas dosen mechanical engineering di Manchester University terbelalak.
"Wah, lengkap sangat mesin-mesin di sini. Enggak nyangka saya. Dengan mesin beragam begini, sparepart jenis apapun bisa dibikin di sini lho. Soalnya Computer Numeric Control (CNC)-nya ada beberapa, belum lagi yang manual. Kampus ternama di Sumatera Utara (Sumut) saja enggak punya kayak beginian," kata Anton sambil mengamati mesin-mesin bubut yang teronggok di workshop itu.
Sebetulnya Anton tidak khusus datang ke kampus itu, sebab sebelumnya dia sudah menjelajah ke sejumlah kabupaten di Riau untuk menjajaki pembangunan kilang-kilang integrasi Crude Palm Oil (CPO)-minyak goreng dan biodiesel mini bagi para kelompok petani kelapa sawit.
Misi ini hasil kerjasama Tim Anton di Jakarta dengan Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo).
"Kilang-kilang yang akan dibangun itu, sangat bisa dibikin di politeknik ini. Sebab lagi-lagi saya bilang, mesin-mesin yang ada di workshop ini sangat lengkap," katanya.
Dengan bisa memproduksi ragam mesin kata Anton, kampus itu sebenarnya sangat layak disebut politeknik berkelas nasional.
"Enggak berlebihan kalau saya bilang peralatan yang ada di sini setara dengan apa yang dimiliki Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta," ujarnya.
Tinggal lagi sekarang kata Anton, seberapa besar perhatian pemerintah daerah memajukan Politeknik itu.
"Kalau tim pengajarnya mumpuni, kampus ini akan sangat maju dan bisa mandiri. Sebab segala yang terkait sparepart mesin ada di sini. Tinggal lagi gimana mengoptimalkannya untuk menghasilkan uang," katanya.
Direktur Politeknik Kampar, Nina Veronica tak menampik apa yang disebut oleh Anton tadi.
Bahwa segala potensi yang ada di politeknik tadi belum bisa dioptimalkan lantaran terkendala keuangan.
"Bisa 'hidup' sampai sekarang saja, kami sudah bersyukur. Sebab waktu saya mulai menjabat di sini pada 2017, duit yang ada hanya Rp400 juta. Uang itulah yang kami pakai untuk operasional, gaji pengajar dan membayar hutang yang terjadi pada tahun sebelumnya, sekitar Rp80 juta. Dan saat itu mahasiswa kami hanya 50 orang,," cerita Nina.
Biar bisa bertahan hidup hingga membayar listrik yang mencapai lebih dari Rp40 juta sebulan, Nina dan kawan-kawan berupaya memanfaatkan mesin-mesin tadi untuk mendapatkan uang. Mulai dari membikin sekrup, baut, hingga membikin sabun dari CPO.
Berharap dari pemerintah setempat, enggak bisa sama sekali. Sebab dana hibah yang pernah ada RP5 miliar setahun, sudah diputus sejak tahun 2016 lalu.
"Kami punya mesin pembuat minyak goreng dan biodiesel. Tapi enggak bisa kami optimalkan lantaran pembiayaan untuk itu enggak ada," ujar Nina.
Belakangan, Nina dan kawan-kawan mulai bersemangat. Sebab Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah melirik kampus itu dan terjalin kerjasama.
"Tahun lalu ada 90 orang mahasiswa program beasiswa BPDPKS mulai kuliah di sini. Kami punya 4 jurusan. Teknik Informatika, Pengolahan Sawit,
Perbaikan mesin dan Administrasi Bisnis Internasional. Lantaran semuanya berkaitan dengan sawit, kami sedang mempersiapkan perubahan nama kampus ini menjadi Politeknik Sawit Indonesia," cerita Nina.
Abdul Aziz