Sleman, Gatra.com - Kombatan perempuan eks Gerakan Aceh Merdeka atau inong balee terlupakan setelah perjuangan mereka usai. Inong balee kerap diremehkan dan tak dianggap bagian dari aktivisme perempuan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi usai pemutaran film dokumenter ‘Inong Balee’ di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Rabu (26/2). Film garapan sutradara Yosep Anggi Noen itu bagian dariproyek penelitian ‘Dimensi Gender dalam Konflik dan Perdamaian’ dosen UGM, Wening Udasmoro dan Arifah Rahmawati.
“Film ini diambil saat kami riset. Ada banyak informan tapi tak menarik untuk dijadikan film. Ada juga yang keberatan jadi film karena dia merasa tidak aman,” kata Arifah.
‘Inong Balee’ merekam kehidupan personal tiga perempuan yang menjadi kombatan GAM pada 1999-2005 di Bireuen dan Aceh Besar. Mereka mengidealkan pahlawan perempuan Aceh seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Malahayati.
Setelah perjanjian damai GAM dan pemerintah Indonesia, mereka juga harus meninggalkan atribut perang. Kehidupan para inong balee pun beragam, dari aktif di artai politik, pegawai honorer, pekerja serabutan, hingga pedagang nasi lemak. Peran mereka tak berbeda dengan perempuan Aceh yang dulu tak jadi kombatan.
Film ini menggambarkan kompleksnya konflik internal para inong balee, termasuk kesetiaan pada ideologi yang ternyata tak membawa perubahan kesejahteraan. Mereka pun masih harus berjuang sebagai warga negara untuk mendapat hak sosial, ekonomi, dan politik.
“Saat mereka ke Yogyakarta, mereka tidak tahu apa-apa dan tergagap-gagap. Tahunya Indonesia itu kafir. Itu yang didoktrin ke mereka,” jelas Arifah.
Menurut Arifah, inong balee dianggap sebagai kelompok paling bawah di antara aktivis perempuan karena mereka dianggap dimanfaatkan oleh GAM. “Padahal mereka menjadi inong balee ada history-nya. Hebat, tapi tak diakui,” ujarnya.
Wening menambahkan, citra dan narasi bahwa perempuan maskulin dan militeris itu hebat direproduksi oleh para inong balee, seperti halnya sosok Cut Nyak Dien. “Sebenarnya narasi ini ditransformasi dari masyarakat kelas atas ke bawah. Narasi ini ada di kehidupan warga Aceh dan terus diceritakan,” katanya.
Salah satu pembicara diskusi, aktivis perempuan Dewi Candraningrum, menyatakan, perjuangan inong balee yang memuja sosok perempuan maskulin bisa ditempatkan dalam dinamika teori feminisme.
“Sekarang kepemimpinan perempuan itu kolektif dan butuh massa kritis. Bukan masanya lagi one single fighter (pejuang tunggal),” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Dewi pun menjelaskan salah paham awam atas feminisme. “Feminisme bukan berarti benci dan tak butuh laki-laki, tapi menolak priviledge laki-laki dalam aspek keadilan sosial,” katanya.