Jakarta, Gatra.com - Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Fathimah Fildzah Izzati menyebut dihilangkan peran negara dalam RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Sejumlah persoalan penting yang seharusnya ditangani negara, diserahkan pada pihak swasta lewat RUU Cipatker ini.
"Ini adalah ciri yang sangat kental dari liberalisasi ekonomi," katanya di Jakarta, Kamis (27/2).
Fildzah mencontohlkan dalam Pasal 92 ayat (1) dan (2), Pasal 92A, serta Pasal 95 yang berbunyi:
(1) "Pengusaha menyusun struktur dan skala upah di perusahaan"
(2) "Struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman unmk penetapan upah berdasarkan satuan waktu."
Pasal 92A
"Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan pengusaha dan produktivitas"
Pasal 95
"Menghilangkan ketentuan denda bagi pengusaha yang melanggar"
Menurut Fildzah, dampak dari RUU Ciptaker ini juga memiskinkan buruh. Penetapan upah didasari Upah Minimum Provinsi (UMP) tanpa memikirkan inflasi dan lain sebagainya.
"Bisa dilihat dalam Pasal 88C dan 88D. Buruh wilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah akan mengalami tingkat kerentanan yang lebih tinggi," jelasnya.
Bahkan, dengan adanya Pasal 88C dan Pasal 88D ini, perusahaan dapat memanfaatkannya untuk melakukan pemisahan perusahaan ke skala yang lebih kecil. Alasannya, untuk berlindung sebagai Usaha Micro Kecil (UMK) lantaran ketentuan upah bagi UMK lebih longgar.
Fildzah menyebut terkait Penghentian Hubungan Kerja (PHK) akibat force majeure atau keadaan memaksa yang tercantum dalam Pasal 154A poin g. Aturan ini berpotensi membuat buruh mengalami PHK sewaktu-waktu secara sewenang-wenang.
"Hal ini berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan memiskinkan buruh secara masif. Karena kita sama-sama tahu orientasi buruh versus pengusaha itu karena buruh ingin kesejahteraan dan pengusaha ingin profit. Maka, jika perusahaan yang menentukan upah, kesejahteraan buruh sudah pasti diabaikan," katanya.