Jakarta, Gatra.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja saat ini menuai kontroversi. Yang menjadi salah satu perhatian adalah wacana peleburan status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK).
Terkait hal itu, Pengamat Energi yang juga mantan Anggota DPR RI Komisi VII, Kurtubi menyatakan hal itu tidak diperlukan.
Dia menyampaikan bahwa BUMNK yang ingin dibentuk melalui draft RUU tersebut adalah Entitas Bisnis Migas atau NOC (National Oil Company) dimana Indonesia sendiri sudah memilikinya, yaitu Pertamina.
Sementara, lanjutnya, dalam RUU tersebut menginginkan BUMNK ini menjadi Badan Usaha baru diluar Pertamina. Jika hal itu terjadi, konsekuensinya akan terjadi tumpang tindih dan menimbulkan keruwetan baru serta tidak sesuai dengan prinsip gagasan Omnibus Law itu sendiri.
"Pemerintah tidak perlu membentuk BUMNK baru, cukup jadikan status Pertamina dari BUMN menjadi BUMNK,"ujarnya kepada Gatra.com di Kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (25/2).
Disisi lain, Kurtubi menyetujui bahwa seharusnya kerja sama dalam sektor migas harus dipegang oleh negara, dalam hal ini NOC dengan skema Bussiness to Bussiness (B2B), bukan dipegang oleh pemerintah langsung atau Bussiness to Government (B2G).
Dengan skema B2B, menurutnya pemerintah dapat terhindar dari dampak negatif langsung atas perjanjian kerja sama serta dapat menarik investasi lebih banyak.
Hal itu menurutnya berdasarkan dalil pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dimana semua Sumber Daya Alam termasuk cadangan migas dikuasai dan dimiliki oleh negara melalui Perusahaan Negara yang dibentuk dengan UU.
Dengan skema B2B ini, nantinya bagi perusahaan minyak yang akan beroperasi di Indonesia, cukup melakukan kontrak dengan Pertamina, sedangkan pemerintah tidak melakukan kontrak secara langsung dengan perusahaan swasta atau asing. Dengan begitu, pemerintah berada di atas kontrak dan memegang kedaulatan penuh atas segala SDA yang menjadi milik negara.
"Kita harus belajar dari kasus Freeport dengan skema B2G, kedaulatan kita atas SDA milik negara kita sendiri menjadi hilang," tegasnya.
Pria berumur 69 tahun ini juga berharap agar pemerintah menjadikan Pertamina menjadi BUMNK seperti era 1970-1990an dimana perusahaan plat merah tersebut menjadi perusahaan minyak negara yang disegani oleh semua perusahaan minyak dunia.
Namun dalam perjalanannya, Pertamina yang pada saat itu dibentuk melalui UU Nomor 8 Tahun 1971 dimana menjadikannya pengelola serta bertanggung jawab atas sektor hulu dan hilir industri migas nasional, telah beralih ke tangan Kementerian ESDM dan menjadikan Pertamina menjadi Perusahaan Persero melalui UU Migas Nomor 22 Tahun 2001.
"Jadi semenjak itu Pertamina status kedudukannya sama dengan perusahaan migas swasta dan asing lainnya," imbuhnya.
"Bersamaan dengan wacana Omnibus Law, melalui Pertamina jika dijadikan seperti dulu dengan sekarang menjadi status BUMNK misalnya, saya yakin akan memajukan sektor migas kita," tambah Kurtubi.
Secara lebih lanjut dia menjelaskan, secara fundamental seharusnya pemerintah terlebih dahulu membenahi payung hukum terkait pengelolalaan industri migas nasional.
Dia menilai payung hukum yang ada saat ini yaitu UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 terbilang cacat hukum. Pasalnya, sekitar 17 pasal di dalamnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk di dalamnya penghapusan dasar hukum pembentukan dan tugas-tugas BP Migas yang tak lama kemudian namanya diubah menjadi SKK Migas. Lembaga ini pada saat itu juga bersifat sangat sementara karena tidak ada dasar hukumnya dalam UU Migas.
"Analoginya BP Migas ini seperti penjahat yang akhirnya di hukum, tapi lalu ganti nama saja menjadi SKK Migas dan tetap eksis sampai saat ini. Apa betul seperti itu?" tuturnya.
Jadi, menurutnya resiko hukum yang akan muncul cukup jelas jika SKK Migas akan dijadikan BUMNK karena SKK Migas sendiri sampai saat ini tidak memiliki payung hukum dan hanya bersifat ad-hoc.
Bahkan, ia menegaskan regulator sektor hulu ini bertanggung jawab atas rendah dan anjloknya produksi minyak mentah nasional yang mana menjadi penyebab utama terjadinya defisit migas.