Jakarta, Gatra.com - Kementerian Keuangan berencana mengenakan cukai pada produk minuman berpemanis, plastik, hingga kendaraan bermotor, berdasarkan emisi karbondioksida. Diprediksikan langkah ini bisa memberikan tambahan penerimaan negara hingga Rp23,55 triliun.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik & Plastik Indonesia (INAPLAS), Fajar Budiono menyebut kebijakan ini tidak pro industri.
Menurutnya Kementerian Keuangan sendiri telah memberikan insentif pada industri Petrokimia hulu berupa tax holiday dan tax allowance. Insentif ini diberikan guna mendorong peningkatan investasi di sektor industri.
"Tapi di industri hilirnya malah dijegal, malah diberlakukan disinsentif, dikasih cukai. Kemudian di pemerintah daerah sendiri banyak yang melarang penggunaan plastik. Jadi nanti mereka (industri hulu) akan jualan kemana?" kata Fajar ketika dihubungi Gatra.com, Senin (24/2).
Akibatnya, lanjut Fajar, terjadi kemungkinan para investor industri petrokimia hulu akan mempertimbangkan kembali langkah untuk melakukan investasi di dalam negeri.
Kemungkinan terburuknya, para investor ini malah akan melakukan relokasi ke negara-negara lain di ASEAN yang dinilai lebih menguntungkan. Apabila di negara lain menerapkan cukai seperti yang diwacanakan Kementerian Keuangan saat ini, namun production cost di negara lain masih lebih murah dibanding Indonesia.
"Karena demand tetap ada, tapi bisa dipastikan harga akan naik dengan cukai ini. Agar harganya tidak naik, mereka akan memilih produksi di luar Indonesia, terutama di negara-negara tetangga di ASEAN. Nanti masuk ke Indonesia sudah in group satuan package, minuman plus packagingnya," jelas Fajar.
Menurut Fajar, tingginya biaya produksi di Indonesia, ditambah dengan adanya penerapan cukai, malah akan menjadi satu alasan kuat bagi para investor melakukan relokasi pabriknya ke negara lain. Hal ini malah akan menurunkan pendapatan pajak negara.
"Nanti potensi kehilangan PPn dan PPh-nya lebih besar daripada cukai yang didapatkan. Jadi tolong dikaji ulang lagi," tegasnya.