Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Fauzie Yusuf Hasibuan, mengharapkan agar lembaga penegak hukum satu suara yakni menolak advokat atau pengacara yang dihukum melanggar etik dan dilarang beracara.
"Sebetulnya apa yang kita putuskan bukan hanya dilaksanakan oleh Peradi, tapi harus dilaksanakan oleh organ penegak hukum masing-masing [lain]," kata Fauzie dalam acara Ujian Profesi Advokat di Universitas Tarumanegara (Untar), Jakarta Barat, Sabtu (22/2).
Orang nomor satu di Peradi yang berkantor di Grand Slipi Tower, Slipi, Jakarta Barat, ini mengungkapkan bahwa Dewan Kehormatan Peradi hampir setiap pekan bersidang memutus perkara kode etik advokat.
"Organisasi profesi kita ini hampir setiap minggu [pekan] tetap melaksanakan adanya pengaduan kode etik dan memutuskan anggotanya yang salah melanggar kode etik,"ujarnya.
Kewenangan yang dimiliki Dewan Kehormatan Peradi tersebut sesuai dengan Undang-Undang Avdokat Nomor 18 Tahun 2003.
"Salah satu pasalnya bahwa dia [Dewan Kehormatan] mempunyai kewenangan untuk menguji apakah anggota-anggota tidak hanya yang baru maupun yang lama," ujarnya.
Menurutnya, kalau advokat sudah berstatus sebagai anggota Peradi dan ansih sebagai penegak hukum, maka uji petiknya itu adalah bagaimana dia bisa menjalankan tugas sehari-harinya dalam melakukan interaksi kepada masyarakat maupun negara harus berprilaku terukur melaksanakan kode etik profesi.
"Kalau dia melanggar, tidak ada pengecualian, dia harus dihukum. Yang menjadi persoalan kita sekarang bukan begitu, di dalam lapangan masih belum direspons secara menyeluruh," ujarnya.
Fauzie menjelaskan, memang putusan yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Peradi ini vareatif, mulai dari ringan, sedang, hingga berat. Hukuman berat di antaranya pemecatan sebagai anggota dan pencabutan hak beracara.
"Putusan sudah kita eksekusi dan laksankaan dan kita lampirkan atau tembuskan kepada mereka-mereka instansi terkait, umpamanya Kementerian Kehakiman, Kapolri, Kejagung, MA," ujarnya.
Peradi mengharapkan semua lembaga penegak hukum satu suara yakni sesai putusan etik, advokat yang dipecat harus ditolak untuk beracara atau mendampingi klien dalam satu perkara.
"Sistem penegakan hukum ini secara koor mengatakan dia harus dipecat dan tidak boleh melaksanakan tugas penegakan hukum selama dalam masa proses. Tapi di lapangan masih belum direspons secara menyeluruh," ungkapnya.
Karena itu, lanjut Fauzie, pihaknya merasa sedih karena hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa kalau telah dijatuhi hukuman namun lembaga penegak hukum lain masih membiarkan tetap menjalankan tugas-tugas penegakan hukum sebagai advokat.
"Karena itu kami sedih karena penegakan hukum ini adalah sebuah sistem yang saling memberikan dukungan, penguatan terhadap penakan hukum maka tidak ada pengecualian," ujarnya.