Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif WALHI, Nur Hidayati mengatakan pemangkasan perizinan dalam Omnibus Law malah menghilangkan kendali pemerintah terhadap kegiatan produksi industri.
"Kalau dia menimbulkan kerusakan [lingkungan], atau menimbulkan pencemaran, itu ada alat kontrol pemerintah, ini malah dihapuskan," katanya di Jakarta, Sabtu (22/2).
Maka, lanjutnya, akan terjadinya ketidakjelasan penanggung jawab terhadap kegiatan yang berdampak pada lingkungan. Malahan, dikhawatirkan nantinya akan terjadi lempar-lemparan tanggung jawab oleh berbagai pihak.
"Jadi mereka mengkategorikannya itu berdasarkan risiko. Kalau untuk yang berisiko tinggi, izinnya diberikan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini presiden. Saya gak tahu dengan begini harus berapa orang yang bekerja untuk presiden hanya untuk melihat hal-hal tersebut," ucapnya.
Menurutnya, tidak semua hal bisa dipercepat seperti apa yang diinginkan pemerintah. Berbagai prasyarat yang tidak bisa dipenuhi untuk melakukan percepatan malah akan menimbulkan konflik.
"Misalnya saja hak atas tanah, sampai sekarang masih menjadi PR besar. Konflik-konflik di lapangan soal tumpang tindih lahan dan perizinan-perizinan," tambahnya.
Bahkan, dalam segi tata ruang, dalam Omnibus Law menyebut akan menggunakan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Padahal, menurut Hidayati, dari seluruh wilayah Indonesia, hanya sekitar 25 kabupaten/kota saja yang sudah memiliki RDTR.
"Jadi gak bisa mau mempercepat kalau landasannya ini gak selesai. Bagaimana pun kalau kemudian serampangan hanya akan menimbulkan konflik di kemudian hari," jelasnya.