Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan, RUU Cipta Kerja didesain untuk menarik kekuasaan kepada pemerintah pusat. Bahkan, dari segi manajemen pemerintahan pusat, kekuasaan diduga akan ditarik ke tangan Presiden.
"Jadi contohnya seperti Pasal 170 (RUU Cipta Kerja) yang dikatakan typo (salah ketik), sebenarnya mana bisa typo satu pasal. Kalau satu pasal gak mungkin salah ketik namanya," katanya di Jakarta, Sabtu (22/2).
Menurutnya, Pasal 170 RUU Cipta Kerja ini merupakan contoh konkret adanya sentralisasi kekuasaan. Dalam pasal ini, terdapat kalimat yang menyebut pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam UU Cipta Kerja.
Pasal 170 ayat (1) berbunyi "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."
"Ayat (2) bilang, pengaturan selanjutnya akan dilakukan melalui Peraturan Pemerintah. Dalam konstitusi kita yang kemudian diturunkan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan nomor 12 tahun 2011, ada tata urutan. Tata urutan dari UUD, TAP MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah (PP), Perpres," jelas Bivitri.
Dengan tata urutan ini, lanjutnya, muatan materi dalam UU tidak boleh diatur oleh Peraturan Pemerintah. Pasalnya, pembuatan PP tidak melibatkan DPR sebagai wakil rakyat Indonesia.
"Karena logika demokrasi, perwakilannya adalah DPR, terlepas kita merasa terwakili atau tidak. Sehingga materi muatan yg dianggap sangat mendasar atau terkait pidana, hanya boleh diatur kalau ada kuasa wakil rakyat. Jadi harus dalam bentuk UU, baru kemudian teknisnya dibuat oleh PP," ujarnya.