Pekanbaru, Gatra.com - Upaya mewujudkan swasembada pangan sangat bergantung kepada keseriusan Pemerintah Daerah (Pemda) Riau menghentikan alih fungsi lahan. Hal itu dikatakan Wakil Ketua DPRD Riau, Hardianto.
"Kita berbicara swasembada pangan itu, kita bicara lahan, kita berbicara pertanian. Hari ini kondisi lahan di Riau banyak alih fungsi lahan, baik lahan pertanian yang dijadikan perkebunan terutama Sawit, lahan pertanian dijadikan lahan pemukiman. Ini kalau dibiarkan terus akan riskan," katanya kepada Gatra.com di Pekanbaru, Jum'at (21/2).
Adapun Sawit masih menjadi primadona di sektor pertanian Provinsi Riau. Merujuk Data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau, luasan panen Kelapa Sawit sudah mencapai 2.496.576 hektare pada 2018.
Sebagai perbandingan di tahun yang sama, luasan panen Padi hanya 91 ribu hektare, Jagung (15 ribu hektare), Kedelai (5, 4 ribu hektare) dan Sagu (73 ribu hektare). Sedangkan luasan panen sayuran jauh lebih kecil, Cabe (3, 1 ribu hektare) dan Bawang Merah (20 hektare).
Dampak ketimpangan tersebut membuat sebagian besar pasar tradisional dan modern di Riau dipenuhi oleh barang-barang pangan dari luar daerah. Beras misalnya, bahan pangan ini umumnya berasal dari Sumatera Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, hingga dari Jawa.
Menurutnya Riau sendiri setiap tahunnya membutuhkan pasokan beras lebih kurang 600 ribu ton per tahun. Namun defisit beras mencapai lebih kurang 400 ribu ton per tahun.
Hardianto menyebut, ketergantungan Riau terhadap suplai pangan dari luar, dengan sendirinya membuat provinsi ini berada dalam kondisi rentan setiap tahunnya. "Ketika provinsi tetangga menghentikan distribusi pangan kita, itu bahaya sekali. Bagi Riau ini sangat prioritas. Manana pemerintah perlu hadir," ucapnya.