Cilacap, Gatra.com – Pembudidaya sidat di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah kewalahan memenuhi kuota ekspor sidat (Anguilla spp) ke Jepang. Padahal, keuntungan menggiurkan menanti jika kuota terpenuhi.
Pembudidaya sidat di Desa Kaliwungu, Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Ruddy Sutomo mengatakan dalam sebulan koperasi yang menjadi binaannya baru bisa berproduksi sebanyak satu ton sidat konsumsi. Angka ini masih jauh dari kata cukup untuk memenuhi minimal kuota ekspor. “Perusahaan Jepang itu kalau kontrak minimal lima ton per bulan,” katanya.
Sebab itu, kini pembudidaya sidat di Cilacap lebih banyak menyuplai kebutuhan dalam negeri. Sebagian besar peminat sidat Cilacap adalah restoran Jepang yang kebanyakan didirikan di kota-kota besar. “Ada di Jakarta, Bandung, Semarang, sampai Surabaya,” ucap Ruddy, yang juga Pembina Koperasi Mina Sidat Bersatu, Cilacap ini.
Lantaran tak bisa memenuhi kuota ekspor, ia berjaringan dengan pembudidaya di sentra penghasil sidat lainnya. Misalnya, Sukabumi, Kebumen dan Banyuwangi.
Ruddy mengungkapkan, kebutuhan sidat Jepang sangat tinggi. Setahun, Jepang membutuhkan sekitar 38 ribu ton sidat. Sebagian besar kebutuhan sidat dipenuhi dengan impor. Pasalnya, sidat Jepang sendiri sudah sangat langka. “Karena kelangkaan itu, harganya jadi sangat tinggi. Harga sidat kualitas ekspor di Indonesia kami beli Rp150 ribu per kilogram,” jelasnya.
Karenanya, ia lantas mendirikan koperasi pembudidaya sidat di Cilacap. Cilacap adalah salah satu penghasil sidat konsumsi dan benih sidat terbesar di Indonesia. Dia yakin, perkembangan sidat di Cilacap akan pesat. Pasalnya, nilai sidat terhitung paling tinggi dibandingkan dengan jenis ikan budidaya lainnya. “Harganya tinggi. Saya yakin nanti petani akan tertarik jika mengetahui keuntungan membudidayakan sidat,” ucapnya.