Jakarta, Gatra.com - Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menilai bahwa adanya pelanggaran dalam proses revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pelanggaran itu salah satunya terkait dengan partisipasi dan tidak kuorumnya jumlah anggota legislator saat pengesahan revisi undang-undang tersebut.
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang permohonan uji formil terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK baru), pada Rabu (19/2).
Sidang tersebut mendengarkan keterangan ahli dari perkara nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diajukan 3 komisioner KPK periode sebelumnya.
Zainal memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian tersebut.
"Partisipasi itu wajib. Dan menurut saya, dalam banyak hal, undang-undang ini jelas menerabas partisipasi itu," kata Zainal di ruang pengadilan MK, Jakarta, Rabu (19/2).
Zainal mengatakan, sebagai legislator, metode kepemimpinan DPR bersifat kolektif kolegial. Oleh karenanya, ketika pengambilan keputusan, diwajibkan terpenuhinya kuorum.
“Namun, dalam proses revisi UU KPK khususnya ketika rapat paripurna pengesahan uu itu September 2019 lalu, hanya segelintir anggota DPR yang hadir,” katanya.
Zainal menyebut alasan bahwa proses revisi UU KPK benar-benar telah melanggar ketentuan yang berlaku.
"Saya melihat pelanggaran ini tidak sepele, karena betul-betul nyata," katanya.
Para pemohon merupakan para pimpinan lembaga antirasuah tersebut di masa jabatan 2015-2019 mengajukan uji formil Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang.
Selain ketiga nama itu, gugatan juga dimohonkan sepuluh pegiat anti korupsi, antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini Hadad.