Yogyakarta, Gatra.com - Keraton Yogyakarta bakal memberi edukasi busana Jawa. Agenda ini menjadi tema utama dalam merayakan ulang tahun penobatan Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X ke-31 pada 7 Maret 2020.
Ketua panitia perayaan ini, GKR Hayu, menjelaskan selama ini masyarakat kerap keliru mengenakan busana tradisional Jawa. Contohnya pada wiru atau lipatan pada ujung kain. Orang-orang sering mengenakan busana gaya Yogyakarta tapi menerapkan wiru langgam Surakarta atau sebaliknya. Wiru juga tak digunakan di busana anak-anak.
“Ageman (busana) anak-anak perempuan yang sudah menstruasi dan belum itu dibedakan. Jadi anak-anak (perempuan) pakai wiru itu sebenarnya salah. Anak laki-laki kecil pakai blangkon itu juga salah. Harus yang sudah khitan,” tutur Hayu, usai jumpa pers agenda tersebut, di pendapa Hotel Royal Ambarrukmo, Sleman, Sabtu (15/2).
Paparan mengenai cara berbusana Jawa akan digelar dalam lokakarya. Masyarakat dapat mengikuti acara ini. Keraton Yogyakarta juga mengundang para guru SD agar bisa mengajari cara berbusana Jawa dengan benar ke siswa.
Ia menjelaskan, sesuai keinginan Sultan HB X, kegiatan ini merupakan peran Keraton Yogyakarta menjadi sumber informasi tentang budaya Jawa. Tahun ini tema yang dipilih adalah busana. “Masyarakat bisa datang, belajar, dan tahu tata cara busana,” ujar putri keempat Sultan HB X ini.
Perayaan ulang tahun penobatan Sultan HB X atau Tingalan Jumenengan Dalem pada 2019 mengambil tema “Busana dan Peradaban di Keraton Yogyakarta”. Selain lokakarya, ada sejumlah smposium tentang busana, kain, dan batik dengan pembicara dari dalam dan luar negeri.
Busana-busana langka koleksi Keraton Yogyakarta juga bakal ditunjukkan ke publik di pameran ‘Abalakuswa’ mulai 7 Maret 2020 di Bangsal Pagelaran Keraton. Pengunjung cukup membeli tiket Rp5000 untuk masuk ke pameran ini.
Pameran memajang, antara lain, busana Sultan di sejumlah momen historis, seperti saat naik takhta, dan busana para pangeran dan profesi di keraton zaman dulu. Selan itu ada kain dengan desain khusus untuk pementasan Bedaya Tirto Hayuningrat, tarian karya Sultan HB X.
Penanggungjawab pameran, GKR Bendara, menjelaskan banyak tantangan menggelar pameran ini, terutama faktor usia suatu busana. Contohnya, koleksi busana di masa Sultan HB VII-VIII.
“Kebanyakan terbuat dari beludru. Jadi rapuhJadi kami cari solusi mana yang bisa dikeluarkan dan tak berisiko. Batik kalau ditekuk lama juga jadi seperti kertas. Takut sobek,” tuturnya.
Meski memamerkan koleksi lawas, menurut GKR Bendara, acara akan dikemas ramah bagi generasi muda. “Seperti kata Ngarso Dalem (Sultan), pameran di keraton harus menarik untuk milenial,” kata putri bungsu Sultan ini.
Penerapannya, misalnya, narasi pameran dan diskusi yang tak kaku dan menekankan tuturan cerita atau story telling. “Pendekatan milenial juga melalui interior dan sentuhan teknologi,” kata dia.
Selain acara-acara tersebut, seperti tradisi saban tahun perayaan bertakhtanya Sultan juga diisi rangkaian ritual adat pada 22-26 Maret, yakni ngebluk dan ngapem, yakni prosesi membuat apem, serta labuhan di Pantai Parangkusumo dan Gunung Merapi.
Pada 25 Maret juga dipentaskan versi lengkap tari Beksan Trunajaya untuk publik selama 1,5 jam. “Ini belum pernah sebelumnya, supaya bisa dinikmati masyarakat,” ujar Bendara.