Jakarta, Gatra.com - Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank 1A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ariastiadi mengatakan, sejak keluarnya Peraturan OJK Nomor 73 Tahun 2016 hingga direvisinya peraturan tersebut menjadi POJK Nomor 43 Tahun 2019, baru ada 25 perusahaan asuransi yang memiliki Direktur Kepatuhan. Padahal jumlah keseluruhan perusahaan asuransi di Indonesia ada sebanyak 130 perusahaan.
"Saat ini sudah ada 25 perusahaan asuransi yang mempunyai direksi kepatuhan diperkirakan dari total 130 perusahaan. Jadi baru sekian persen perusahaan yang telah memenuhi ketentuan,” katanya dalam konferensi press di Gedung OJK, Jakarta, Kamis (13/2).
Aris menjelaskan, baik di POJK Nomor 73 Tahun 2016 ataupun POJK Nomor 43 Tahun 2019, sama-sama mengharuskan agar perusahaan asuransi memiliki tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance.
Hanya saja, di dalam POJK Nomor 73 Tahun 2016 disebutkan bahwa perusahaan diwajibkan untuk memiliki Direktur Kepatuhan, yang mana direktur tersebut tidak boleh merangkap jabatan dengan posisi direktur lainnya.
Sedangkan untuk POJK Nomor 43 Tahun 2019, hanya mengaharuskan perusahaan untuk menjalankan fungsi kepatuhan, yang mana kali ini direksi diperbolehkan untuk rangkap jabatan sebagai direktur lainnya, kecuali direktur yang membawahi bidang bisnis.
"Prinsipnya (direktur kepatuhan) harus independen ke fungsi yang berkaitan dengan bisnis dan operasional. Kalau dia merangkap kepatuhan dan bisnis itu akan menimbulkan konflik. Kan Direktur (kepatuhan) ini tetap harus independen supaya tidak ada kepentingan. Bisa saja direktur manajemen resiko," jelas Aris.
Aris melanjutkan, untuk 105 perusahaan asuransi lainnya, bukan berarti tidak menjalankan fungsi kepatuhan. Hanya saja, mereka tidak memiliki direktur yang khusus membawahi bidang kepatuhan.
"Bukan berarti sisanya tidak punya fungsi kepatuhan, tetap ada fungsi kepatuhan,” imbuh dia.
Aris menganggap, di tengah kompleksnya Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) saat ini, perusahaan asuransi harus memiliki direktur kepatuhan guna menjaga kesehatan kinerja dari setiap perusahan asuransi.
"Ada kompleksitas dari bisnis, sama profil risikonya. Harus ada fungsi, tak ada patokan tapi perhitungan lain terhadap yang ada," katanya.