Jakarta, Gatra.com- Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu menuturkan, semenjak adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, LPSK lebih mudah melakukan advokasi dalam pemberian bantuan sesaat dan setelah peristiwa terorisme kepada korban.
Menurutnya, terdapat perbedaan dengan sebelum diberlakukannya undang-undang tersebut. Pada peraturan sebelumnya, UU Nomor 31 Tahun 2014 belum mencukupi. Seputar jumlah bantuan, pemerintah kurang memperhatikan korban.
“ Kami mendatangi seluruh rumah sakit. LPSK akan membayar biaya korban. Paling kencang dari kementerian dan lembaga. Kami akan tanggung korbannya. Tiga bulan kemudian, masuk tagihan ke kami karena belum ada lembaga yang membayar,” tuturnya di Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Edwin mengatakan, berlakunya UU Nomor 5 Tahun 2018, mempermudah proses pencairan bantuan. Hal ini karena dalam poin kebijakan itu, terdapat penyederhanaan proses untuk pemberian bantuan kepada korban saat kejadian dan kompensasi korban di masa lalu.
“[Sebelumnya untuk membantu] saksi dan korban, perlindungan LPSK harus mengajukan permohonan. Dalam UU itu, tidak perlu mengajukan permohonan lagi. Kami langsung turun,” katanya.
Sampai saat ini, sudah ada 489 korban terorisme yang ditangani LPSK. Sampai proses pengadilan, total kompensasi sebesar Rp6 miliar untuk 202 korban.
Dosen Kajian Terorisme SKSG UI, Benny Mamoto menuturkan, perlu pembahasan lebih lanjut terkait kompensasi terhadap korban terorisme. Hal ini perlu dikelompokkan menurut tipe terornya.
“Terkait kasus restitusi, bagaimana menuntut untuk memberikan ganti rugi kepada korban. Bagaimana prosesnya dan apakah ini sudah dilakukan. Berbeda dengan beberapa tipe teror sebelumnya,” ucapnya.