Slawi, Gatra.com - Bertani tak melulu harus dilakukan berpanas-panas dan kotor-kotoran dan di sawah. Dengan teknologi, setiap orang bisa menjadi petani tanpa harus terjun ke sawah. Salah satunya melalui pertanian hidroponik.
Dengan metode pertanian modern tersebut, bertani bisa dilakukan di rumah karena tidak membutuhkan lahan yang luas dan ketersediaan tanah sebagai media tanam. Selain bisa untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari, hasil dari pertanian itu juga bisa menambah pendapatan keluarga.
Kesuksesan dalam bertani hidroponik ditunjukkan, Sri Sudiyasih (45), warga Desa Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Berawal dari ketertarikan untuk bertani dengan cara hidroponik di rumah, Sri kini memiliki sebuah usaha bernama Mejasem Hidroponik Center.
Usaha itu memiliki green house berukuran 9 meter x 8 meter di Kelurahan Dampyak, Kecamatan Kramat. Di lokasi ini Sri bercocok tanam hidroponik berbagai macam sayuran, seperti kangkung, sawi, lada, dan tomat dengan 750 lubang di media tanam dari talang berbahan fiber.
Dari hasil panen yang selalu habis dipesan sejumlah UMKM makanan, penghasilannya mencapai sekitar Rp4 juta per bulan.
Selain bertani, perempuan yang akrab disapa Bu Cici dan Bunda Cici itu juga memberikan pelatihan tentang pertanian hidroponik kepada kalangan umum, instansi dan sekolah. Khusus pelatihan yang digelar untuk kalangan umum, pelatihannya sudah didadakan hingga 16 angkatan. Sedangkan pesertanya berasal dari berbagai kalangan dan usia.
Seiring perkembangan, Mejasem Hidroponik Center juga menyediakan kebutuhan peralatan membuat media tanam hidroponik sekaligus jasa perakitannya.
"Saya sudah mulai menanam hidroponik tahun 2015, tapi membuat green house akhir tahun 2016," ujar Sri kepada Gatra.com, Rabu (12/2).
Sri mengatakan, bertani dengan hidroponik memiliki banyak keuntungan. Di antaranya tidak membutuhkan banyak tenaga, waktu, dan lahan yang luas.
"Kalau di tanah kan butuh banyak tenaga, kalau di hidroponik itu sedikit. Luas 9 meter x 8 meter yang ngurus saya sama suami saja. Itu juga sering ditinggal. Artinya irit waktu dan tenaga. Kemudian rasa sayurnya juga beda, lebih kriuk," ujarnya.
Pertanian hidroponik juga lebih hemat air jika dibandingkan dengan pertanian konvensional. Hal ini karena ketersediaan airnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
"Kalau tanam di tanah otomatis butuh air yang banyak. Airnya ke mana-mana. Air yang diberikan banyak, serapan sedikit. Kalau hidroponik, air sesuai kebutuhan karena airnya bisa fokus di tanaman," jelas Sri.
Menurutnya, bertani hiproponik bisa dilakukan di mana saja, bahkan di kompleks perumahan yang ketersediaan lahannya terbatas. Selain model talang berbahan fiber, media tanamnya juga bisa menggunakan pipa.
Biaya yang dibutuhkan pun tidak banyak. Jika menggunakan pipa sepanjang dua meter, Sri menyebut biaya pembuatannya sekitar Rp1,5 juta.
"Di perumahan kan tidak ada tanah, itu bisa dibikin di atas selokan. Lebarnya bisa 75 sentimeter, panjang dua meter," ujarnya.
Sri bercerita, keterarikannya bertani hidroponik bermula saat dirinya bertemu dengan salah seorang temannya yang sudah lebih dulu menggeluti pertanian hidroponik.
"Kebetulan saya ketemu dengan kakak angkatan saya. Dia bercerita jadi petani bersih. Saya tanya petani bersih itu kaya apa Dia bilang, petani bersih itu hidroponik. Nanam tidak pakai tanah, tapi air. Akhirnya saya tertarik," ceritanya.
Setelah bertanya-tanya kepada temannya tersebut, Sri yang saat itu masih menjadi pengelola Pendidikan Anak Usaha Dini (PAUD) kemudian mempraktikan langsung dengan membuat hidroponik sepanjang dua meter di rumahnya di Jalan Pala Barat 1 Blok E Nomor 39 Perumahan Griya Mejasem Baru. Hasil panennya selain untuk pembelajaran di PAUD juga untuk dikonsumsi sendiri.
"Jumlah lubangnya 69. Saat panen, sering kelebihan sayuran, akhirnya saya bagikan ke tetangga komplek. Ternyata tetangga seneng. Panen kedua juga saya bagikan lagi, tapi tetangga malah tidak ada yang mau dikasih, maunya beli. Ya saya bersyukur sekali," ujarnya.
Seiring menyebarnya informasi sayuran hidroponik yang dibudidayakannya tersebut, Sri semakin banyak mendapat pesanan berbagai macam sayur. Hal ini kemudian diutarakan Sri kepada suaminya.
"Suami saya bilang, kita kan punya tanah kosong, kalau kita bikin green house bagaimana. Akhirnya dibuat green house agar hasilnya bisa lebih banyak dan kemudian juga jadi tempat pelatihan," ucap Sri.