Home Internasional Trump Bertahan, Menantang, dan Yakin Menang

Trump Bertahan, Menantang, dan Yakin Menang

Pemungutan suara di Senat Amerika Serikat dimenangkan Partai Republik yang menyatakan Presiden Donald Trump tak bersalah. Para saksi kunci pemakzulan, kini disingkirkan dari jabatan mereka. Trump optimistis menang lagi di pilpres mendatang.


Dua orang pria mengenakan jas hitam tampak melangkah di belakang seorang tentara berkacamata dengan seragam militer lengkap. Di samping tentara itu, ada pula pria berdasi merah yang wajahnya terlihat mirip. Ia adalah Yevgeny Vindman, saudara kembar si tentara, sekaligus pengacara senior dan pejabat etik di Dewan Keamanan Nasional (National Security Council/NSC).

Mereka berjalan dalam diam menyusuri lorong Gedung Putih. Tiba di pintu luar, sang tentara yang bernama Letnan Kolonel Alexander Vindman itu memakai topinya. Pengawalan bertambah oleh personel lain menuju halaman luar kantor Presiden Amerika Serikat tersebut.

“Keduanya diminta mundur dari jabatannya, karena menyampaikan kebenaran. Kebenaran yang membuat Letnan Kolonel Alexander Vindman kehilangan pekerjaannya, karirnya, dan privasinya,” ucap pengacaranya, David Pressman, belakangan.

Beberapa jam kemudian, Duta Besar AS untuk Uni Eropa, Gordon D. Sondland, mengumumkan bahwa ia diminta Presiden Donald Trump untuk mundur dari jabatannya. “Saya diberi tahu hari ini bahwa Presiden ingin saya mundur secepat mungkin sebagai Duta Besar Amerika Serikat bagi Uni Eropa,” ucapnya seperti dilansir The Washington Post pada Jumat, 7 Februari. Sondland sendiri merupakan pendiri jaringan hotel yang pernah mendonasikan US$1 juta pada kampanye Trump saat pilpres.

Kurang dari 48 jam setelah Trump diputuskan tak bersalah oleh Senat AS, ia segera menyingkirkan dua orang saksi utama dalam kasus pemakzulannya. Pria 73 tahun itu adalah presiden AS ketiga yang dimakzulkan. Pada 18 Desember 2019, pemakzulan Trump diterima oleh DPR yang dipimpin oleh Partai Demokrat. Namun usulan ini gagal saat masuk di Senat yang didominasi oleh Partai Republik.

Rabu, 5 Februari lalu, dilakukan pemungutan suara atas dua tuduhan terhadap Trump, yang merupakan anggota Partai Republik. Tuduhan pertama, Trump menyalahgunakan kekuasaannya. Ia menekan Presiden Ukraina untuk menyelidik lawan politiknya, yaitu calon presiden Partai Demokrat, Joe Biden.

Keduanya akan bertarung pada pemilu 3 November mendatang. Sebanyak 52 suara menyatakan Trump tak bersalah, dan 48 suara menyatakan bersalah. Kejutannya, Senator dari Partai Republik, Mitt Romney, ikut menyatakan Trump bersalah.

“Manipulasi atas pemilihan untuk mempertahankan posisi diri sendiri dalam sebuah jabatan bisa jadi merupakan tindakan paling semena-mena dan meruntuhkan sumpah setia jabatan,” ucap Romney dalam pidatonya.

Tuduhan kedua, Trump disebut menghalangi upaya DPR dalam penyelidikan, yakni dengan menghalangi saksi dan dokumen. Di sini, seluruh 53 Senator Republik—termasuk Romney—menyatakan Trump tak bersalah. Hal ini membuat 47 Senator Demokrat terpaksa menelan ludah.

“Semua yang menentang saya [dalam pemakzulan] adalah jahat, koruptor, dan tak bermoral. Siapa pun yang menyakiti Presiden harus membayar harganya,” ujar Trump dalam pernyataan resminya kemudian, seperti dilaporkan The New York Times.

***

Tiga korban pertama sudah jatuh. Vindman adalah saksi kunci dalam pemakzulan tersebut. Imigran asal Ukraina ini, telah menjadi warga negara AS dan bekerja sebagai seorang tentara. Salah satu tugas utamanya, yakni mengoordinasikan kebijakan terkait Ukraina dalam sejumlah lembaga keamanan AS.

Vindman merupakan veteran Perang Irak yang ditugaskan di Gedung Putih. Ia ada di ruangan saat Trump menelepon Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, pada 25 Juli 2019. Vindman langsung melaporkan hal tersebut ke pejabat NSC.

Sejak saat itu, Vindman dengan terbuka menyuarakan kejanggalan ini. Puncaknya, Trump marah besar ketika Vindman hadir di sidang dengar pendapat di DPR sambil mengenakan seragam militer lengkap. Pilihan yang terlihat sangat politis dibandingkan saksi-saksi lain.

“Ia hanya anggota birokrat kelas rendah dan tak lebih dari itu,” ucap putra sulung Presiden, Donald Trump Jr., mengkritiknya.

Sesungguhnya, Vindman memang berencana untuk mundur dari posisinya di Gedung Putih, paling lambat akhir Februari ini. The Washington Post melaporkan, Vindman sudah menyampaikan rencana tersebut ke atasannya di NSC.

Pada Jumat itu, direncanakan pula bahwa Vindman akan dipindahkan ke posisi lain di Kementerian Pertahanan. Namun Trump mengotot bahwa sang tentara harus menjadi simbol: apa yang terjadi pada orang yang menentangnya. Alhasil, pemecatan terbuka pun dilakukan Presiden.

Trump menegaskan pula bahwa ia siap membuat isu pemakzulan ini sebagai salah satu strategi kampanye. Ia berencana menekankan pada sikap marah para pejabat Demokrat yang berencana menggulingkannya dari posisi orang nomor satu di Amerika. Begitu juga kritik atas sejumlah anggota partainya sendiri, Republik, yang ia anggap tak ikut merayakan kemenangan atas pemakzulannya itu.

***

Dalam sebuah sesi di East Room, Trump menyebut Ketua DPR yang juga anggota Partai Demokrat, Nancy Pelosi, sebagai “orang yang mengerikan”. Selain itu, di mata Trump, Senator Mitt Romney adalah kader Republik yang labil dan “tak punya prinsip”. Trump menuding vote bersalah yang diajukan Romney bukan berasal dari sebuah prinsip, melainkan hasil kepahitan karena dikalahkan Trump dalam pencalonan presiden pada 2012 silam.

“Pemecatan Vindman adalah aksi nyata dan terang-terangan yang menunjukkan ketakutan Presiden atas kebenaran. Aksi balas dendam Presiden adalah alasan yang membuat Senator dari Partai Republik sukses menjadi kaki tangan kepalsuan itu,” Pelosi mengkritik kemudian.

Kegeraman Pelosi belum berakhir, walau Trump lolos dari pemakzulan. Keesokan harinya, Kamis, 6 Februari, dalam pidato kenegaraan tahunan Trump (State of the Union/SOTU), Pelosi membuat geger karena merobek salinan pidato Trump di depan kamera. Aksi itu ia lakukan dengan tenang, sesaat setelah Trump mengakhiri pidato berdurasi 80 menit yang berisi kebanggaan dan pencapaian kepemimpinnya dalam empat tahun terakhir.

“Lapangan pekerjaan bertambah, pemasukan meningkat, angka kriminalitas menurun, kemiskinan berkurang, dan negara kita kembali makmur serta dihormati,” kata Trump.

Pidato Trump dibalas dengan tepuk tangan meriah anggota DPR dan Senat dari Partai Republik. Di sisi lain, para anggota dewan dari Partai Demokrat hanya terdiam, menolak tepuk tangan, apalagi berdiri. “Pidato itu adalah manifesto ketidakbenaran,” ucap Pelosi saat dikonfirmasi awak media kemudian.

“[Penyobekan] itu adalah hal yang paling sopan yang bisa dilakukan. Toh, saya akan punya Presiden lain dalam sembilan bulan mendatang,” kata Pelosi lagi. Sebelum aksi penyobekan itu, Trump menolak uluran jabat tangan dari Pelosi saat serah terima lembar pidato.

Sesungguhnya, peringkat penilaian atas kinerja Trump tetap di angka yang cukup bagus di Amerika. Meski sang Presiden terbelit kasus pemakzulan, para pendukung utamanya, yakni pria kulit putih, masyarakat perdesaan, mereka yang beragama Kristen Protestan serta Katolik konservatif—yang juga merupakan karakter mayoritas pendukung Partai Republik—tetap setia pada Trump.

Hasil riset terbaru yang dilakukan Reuters dan Ipsos pada Senin dan Selasa awal Februari ini, menunjukkan bahwa 42% orang dewasa Amerika menyukai kinerja Trump. Sebanyak 54% tak suka. Jumlah ini kurang lebih sama dengan penghitungan pada September, ketika DPR mengumumkan pemakzulan. Ada 43% yang suka dan sebanyak 53% menyatakan tidak suka.

Trump menyatakan, tak punya lawan berarti untuk maju di pilpres dari sesama politisi Republik lainnya. Trump optimistis bahwa ia akan sukses di konvensi Agustus nanti. Terlebih lagi dengan paparan kesuksesan kabinetnya yang ia sampaikan dalam SOTU.

Flora Libra Yanti