Jakarta, Gatra.com - Pengamat Ekonomi, Rizal Ramli mengatakan pembentukan BPJS Kesehatan, sejak awal diwarnai keterpaksaan dari pemerintah. Sehingga, BPJS Kesehatan terkesan dibentuk asal-asalan.
Padahal, menurutnya, BPJS yang menganut sistem Social Security System, juga diterapkan di negara lain. Bahkan, negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sukses menerapkan sistem ini.
"Di negara orang kok bisa? Kenapa di kita nggak bisa? Dari awal pemerintah SBY memang nyari alasan, ogah-ogahan," kata Rizal di Jakarta, Jumat (7/2).
Mantan Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid ini, menilai pada saat penyusunan Undang-undang terkait BPJS, diselipkan kepentingan-kepentingan politik.
"Satu, dia pisahkan BPJS tenaga kerja dengan BPJS kesehatan. Padahal BPJS tenaga kerja ini surplus, untung puluhan triliun. Kesehatan pada dasarnya memang merugi. Itu juga saya aneh kenapa dipisahkan," tambahnya.
Kejanggalan kedua, tambahnya, kontribusi terkait kontirbusi pekerja melalui iuran. Pasalnya, social security system di seluruh dunia menerapkan adanya kontribusi pekerja melalui iuran.
"Di negara lain seperti di Singapura, pekerja setor berapa, kalau pekerjanya miskin, di bawah UMR, gak ikut. Tapi kalau di atas upah minimum di Singapura, dia harus sumbang gajinya misalnya 2%," jelasnya.
Faktanya, di Indonesia, diwajibkan bagi seluruh masyarakat untuk ikut berkontribusi pada BPJS melalui program 'peserta mandiri'. Padahal, hal ini malah akan memberatkan para pekerja dengan upah di bawah UMR.
Ketiga, lanjut Rizal, dalam social security system, harus ada kontribusi dari perusahaan. Di negara-negara lain, kontribusi perusahaan mencapai lima kali lipat dari kontribusi pekerjanya.
"Perusahaan harus menyumbang lima kalinya, jadi 10% di Indonesia pengusahanya lobi. Yang tadinya harusnya sumbangan perusahaan empat kali dari sumbangan pekerja, dia potong hanya dua kalinya. Padahal upah pekerja kan rendah sekali," ujarnya.
Terakhir, modal awal BPJS Kesehatan dibuat sangat kecil. Sehingga, sudah bisa dipastikan sejak awal BPJS Kesehatan akan mengalami permasalahan finansial.
“Ya sudah pasti, modalnya kecil, iuran perusahaan nyaris kecil dan sebagainya. Ini kan kejadian sudah 3-4 tahun yang lalu. Sehingga makin lama masalahnya makin besar, makin menggelinding. Defisitnya makin besar, terakhir Rp30 triliun, sehingga akhirnya enggak bisa bayar rumah sakit, gak bisa bayar dokter, dan lainnya," katanya.