Home Ekonomi Selera Beras 'Impor' & Pengaruh pada Ketahanan Pangan Riau

Selera Beras 'Impor' & Pengaruh pada Ketahanan Pangan Riau

Pekanbaru, Gatra.com --- Lebih dari satu dekade meninggalkan Kepulauan Meranti, Ilham Yasir, mengaku "selera berasnya" berubah. Jika dulu dirinya akrab dengan beras dari sawah ladang, sekarang lidahnya lebih merasa cocok dengan beras 'impor' yang berasal dari luar Provinsi Riau.

"Dulu karena memang lahir disana, dan sering juga main kesawah, jadi terbiasa dengan beras setempat. Tapi kini karena sudah lama di Pekanbaru, jadi lebih cocok dengan beras-beras yang ada disini,"sebutnya kepada Gatra.com.

"Namun kalau nanti balik lagi kesana (Meranti), menetap dengan jangka waktu yang lama, tentu akan kembali terbiasa dengan beras setempat,"tekan pria yang kini jadi Ketua KPU Riau itu.

Kepulauan Meranti merupakan salah satu daerah di Riau yang kerap kali dihadapkan dengan persoalan pasokan pangan,terutama beras. Bedanya,jika  daerah Riau daratan kerentanan bahan pokok,salah satunya dipicu alih fungsi lahan menjadi kebun Sawit, di Meranti tantangan justru muncul dari pasokan air hingga meluapnya air laut. Hal ini membuat program ketahanan pangan daerah setempat, sangat dipengaruhi keberadaan tanggul penahan air laut. Namun, hal tersebut tetap belum memadai, mengingat kebutuhan beras di Kabupaten Kepulauan Meranti setiap tahunya ditaksir mencapai 28.000 ton, dimana kesanggupan daerah hanya bekisar 5.000 - 7.000 ton pertahun. Disisi lain pasokan pangan lokal umumnya bergantung pada produktivitas areal persawahan di Pulau Rangsang, khususnya di kawasan Rangsang Barat dan Rangsang Timur.

Darmansyah,Praktisi Pangan di Riau mengungkapkan persoalan kerawanan bukan saja menghantui Meranti, namun Provinsi Riau secara umum.Saat ini lebih dari 60 persen pasokan pangan Riau,terutama beras berasal dari provinsi tetangga. Kondisi tersebut menurut Darmansyah, membuat harga beras sangat dipengaruhi situasi di daerah asal.

"Misalkan kalau di daerah asal ada kendala seperti banjir, tanah longsor, mau tidak mau itu mempengaruhi harga beras setibanya di Riau,"sebut mantan Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Riau ini.

Untuk diketahui, setiap tahun Riau membutuhkan pasokan beras lebih kurang 600 ribu ton pertahun. Namun defisit beras mencapai lebih kurang 400 ribu ton pertahun.

Darmansyah mengatakan persoalan kerawanan pangan di Riau sejatinya dapat diurai melalui program diversifikasi pangan. Hanya saja program ini tidak semudah yang dikira. Sejumlah persoalan menghadang upaya tersebut, salah satunya budaya kosumsi.

"Sagu bisa jadi alternatif, apalagi Riau jadi sentra Sagu. Namun Sagu belum menjadi pilihan utama bagi masyarakat, walau yang mau lebih banyak dari sebelumnya. Sagu, dulunya sempat dianggap makanan orang miskin," tekannya.

Pemprov Riau sendiri menyadari persoalan ini, dalam suatu kesempatan Gubernur Provinsi Riau,Syamsuar, menyerukan agar petani setempat melirik Padi Gogo sebagai alternatif budidaya pangan. Padi gogo merupakan tanaman padi yang dapat dibudidayakan di lahan kering.Padi jenis ini tidak terlalu bergantung pada sistem irigasi seperti tanaman padi pada umumnya. Sehingga tanaman ini cocok disemai di daerah bercurah hujan rendah. Adapun Syamsuar sudah pernah "membumikan" Padi Gogo sewaktu menjadi Bupati di Kabupaten Siak, tepatnya di Kecamatan Bunga Raya. Namun,sukses tidaknya Padi Gogo sebagai solusi ketahanan pangan Riau, bakal dipengaruhi oleh "selera beras" masyarakat setempat. Seperti yang diutarakan Ilham Yasir.

215