Home Politik Mutasi Jabatan Bupati Batanghari, Bawaslu Harus Hati-hati

Mutasi Jabatan Bupati Batanghari, Bawaslu Harus Hati-hati

Batanghari, Gatra.com - Polemik pelantikan 13 pejabat eselon II oleh Bupati Batanghari Syahirsah Sy, hasil lelang Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama tanggal 8 Januari 2020 lalu terus berlanjut. 
 
Pengamat Politik Arfa'i mengatakan, ada dua substansi dan regulasi yang tidak pernah didudukkan bersama. Pertama bahwa ketentuan undang-undang memang menyatakan enam bulan menjelang penetapan calon, kepala daerah tidak boleh melakukan penggantian pejabat.
 
"Tetapi disitu tidak ada kriteria apakah yang dimaksud pejabat Bupati yang mencalonkan lagi alias incumbent atau pejabat yang tidak mencalonkan diri lagi. Ini kan sesuatu yang semestinya harus didudukkan juga. Apakah dikenakan semua," kata Arfa'i dikonfirmasi Gatra.com, Rabu (5/2).
 
 
Menurut dia, kalau substansi Undang-undang itu tidak ada perbedaan. Apakah kepala daerah incumbent atau kepala daerah tidak incumbent. Kedua adalah dari sisi kewenangan Bawaslu untuk melakukan kontrol. 
 
"Tetapi sisi lain ada kewenangan Kepala daerah (Kada), bagaimana dia mengangkat pejabat sesuai kebutuhannya," ujarnya.
 
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi ini berkata, mengenai limit waktu 8 Januari 2020 yang dilarang, bahasanya Bawaslu melarang, apakah itu melanggar atau tidak merupakan tantangan berat Bawaslu Kabupaten Batanghari.
 
"Sekarang yang jadi pertanyaan bisakah Bawaslu membuktikan itu unsur-unsur adakah pelanggaran atau tidak? Apakah unsur-unsur itu bisa memberikan sanksi kepada kepala daerah? Sanksinya seperti apa? Apakah membatalkan pejabat yang dilantik? Tidak mungkin dan tidak boleh," ucapnya.
 
"Karena tidak ada ketentuan bahwa Bawaslu berhak memberhentikan dan menyatakan pejabat yang diangkat tidak sah. Itu tidak bisa. Karena itu masuk dalam hukum administrasi negara, bukan masuk dalam kawasan pemilu," ujarnya.
 
Poin penting adalah regulasi harus singkron dalam konteks penyelenggaraan pemilu. Arfa'i berpendapat, sesungguhnya untuk kepala daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada, berarti dia mempunyai kebebasan untuk melakukan penggantian pejabat.
 
"Yang kedua dia (Kepala daerah) bukan ketua partai politik. Regulasi semestinya harus memberikan kelonggaran yang demikian. Sehingga Bawaslu enak melakukan pengawasan. Kalau sekarang Bawaslu mengawasi apa konsekuensinya? Apa sih yang bisa dilakukan?," ujarnya.
 
Arfa'i mengatakan Bawaslu Batanghari harus hati-hati, jangan sampai terjebak. Bukan suatu pelanggaran dalam konteks pemilu mudah untuk dibuktikan, tapi nuansa politisnya lebih tinggi. 
 
"Kontek Batanghari yang bupatinya merupakan ketua partai, beranikah bawaslu melakukan itu? apakah berani ketika berhadapan dengan kewenangan kepala daerah," ucapnya.
 
Proses penggantian pejabat merupakan kewenangan kepala daerah. Menurut Arfa'i, khusus Kabupaten Batanghari ada dua analisa kenapa itu dilarang selain undang-undang. Pertama adalah walaupun Bupati tidak mencalonkan diri lagi, tetapi sudah beredar istrinya mau mencalonkan diri. 
 
"Jabatan ketua partai mempunyai kontribusi besar terhadap pejabat yang diangkat untuk proses pemenangan. Itu dicurigai. Makanya dalam konteks itu untuk Batanghari, itu tidak lagi ada argumen bahwa itu kami boleh. Meskinya masuk koridor aturan yang dilarang," katanya.
 
"Maka sekali lagi saya katakan, beranikah Bawaslu melakukan itu? Ada satu bahasanya ketidakpastian apa yang meski disampaikan kepada masyarakat. Ada satu kunci dari penyelenggara pemilu itu berkaitan dengan informasi publik itu, pakailah asas kehati-hatian," ujarnya. 
 
Menurut Arfa'i perbedaan tanggal pengumuman larangan penggantian pejabat yang dilakukan Bawaslu Batanghari dan Bawaslu Pusat sudah masuk kategori pelanggaran etik dalam transparansi publik dan kejelasan informasi. 
 
"Sepanjang itu ada screenshot bisa dilaporkan secara jenjang Bawaslu maupun secara etik penyelenggara pemilu," ucapnya.
24