Jakarta, Gatra.com - Lokataru Kantor Hukum dan HAM menyayangkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis 4 bulan pidana penjara kepada Dede Lutfi Alfiandi, karena menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menyampaikan aspirasi pada aksi ‘ReformasiDikorupsi’ September 2019 silam.
Sebelumnya Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 4 bulan terhadap Dede Lutfi Alfiandi. Lutfi dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 218 KUHP. Lutfi disebut sebagai seorang pengangguran dan tak berstatus sebagai pelajar. Seragam sekolah yang dikenakan Lutfi disebut bertujuan untuk mengelabui polisi dan peserta demo lainnya.
"Selama proses persidangan, prinsip fair trial yang seharusnya dijalankan justru jauh dari Luthfi sebagai korban kriminalisasi," kata Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/2).
Fair trial adalah proses peradilan yang harus memenuhi hak asasi manusia dengan menerapkan asas praduga tak bersalah, asas equality before the law, peradilan yang bebas dan tidak memihak, bebas dari penyiksaan, mendapat bantuan hukum yang memadai, serta jaminan perlindungan hak asasi manusia lainnya yang harus dipenuhi terhadap tersangka atau terdakwa di tingkat penyidikan sampai putusan pengadilan.
"Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi ruang untuk mencari keadilan, justru memberikan legitimasi untuk mengkriminalisasi Luthfi secara ugal-ugalan. Hakim dalam putusannya tidak melihat fakta-fakta persidangan secara objektif, jika hal tersebut dilakukan, maka Majelis Hakim akan dapat memutus Dede Luthfi Alfiandi bebas dari segala tuntutan," tambahnya.
Haris menyebut, fakta yang seharusnya masuk dalam pertimbangan justru diabaikan, salah satunya adalah mengenai tindakan kepolisian pada saat pemeriksaan menggunakan cara-cara yang keji.
Dalam temuan dan analisa kasus penanganan hukum Dede Lutfi Afiandi, Lokataru Foundation, selama proses persidangan, setidaknya mendapat 7 temuan yang mencakup hal-hal:
Pertama, proses penangkapan tidak Sesuai KUHAP, karena secara tiba-tiba, Luthfi dan kawannya diberhentikan oleh Polisi, dengan seketika dilakukan penangkapan oleh Polisi terhadap Luthfi. Penangkapan dilakukan tanpa diberitahukan apa kesalahan atau dugaan tindak pidana yang dilakukan. Bahwa upaya paksa yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada Luthfi tidak didasarkan pada cara penangkapan yang diatur dalam Pasal 18 KUHAP, sehingga tindakan tersebut merupakan perbuatan (abuse of power) yang dilakukan oleh pihak kepolisian;
Kedua, lanjut Haris, selama penahanan di Polres Jakarta Barat yang berlangsung selama 3 hari, Luthfi mengalami berbagai macam penyiksaan yang dilakukan oleh Polisi untuk mendapatkan keterangan sesuai dengan unsur tindak pidana yang akan didakwakan. Bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh Polisi kepada Luthfi adalah pemukulan, disetrum listrik dibagian telinga, ditendang, dan kepala ditutupi dengan plastik.
“Keseluruhan tindakan penyiksaan tersebut dilakukan karena Luthfi menjawab tidak sesuai dengan keterangan yang diinginkan oleh polisi,” kata Haris
Ketiga, pada saat Luthfi diperiksa untuk dimintai keterangannya di Polres Jakarta Barat, proses pemeriksaan tersebut tidak didampingi oleh Penasihat Hukum, sehingga pada saat pemeriksaan terdapat tekanan berupa penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap Luthfi;
Keempat, kata Haris, secara tiba-tiba, terdapat Penasihat Hukum tanpa adanya penunjukan dari Luthfi dan langsung menandatangani BAP tanpa seizin Luthfi, padahal sejak awal Luthfi tidak mengakui isi BAP karena dibuat dalam keadaan tertekan.
“Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 55 KUHAP yang mengatur bahwa tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri Penasihat Hukumnya,” katanya;
Serlanjutnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi yang tidak relevan. Hal tersebut terlihat dari keterangan Hendar Klana, Dani Dwi Susanto, dan Dimas S. dari Polres Jakarta Pusat yang sama sekali tidak mengetahui mengapa Terdakwa dihadirkan di dalam persidangan.
Selain itu saksi tersebut juga mengakui bahwa ia tidak mengetahui atas kepentingan apa ia bersaksi. Ia juga mengakui bahwa ia hanya melengkapi bukti supaya Terdakwa dapat dibawa ke pengadilan.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa pemidanaan terhadap Terdakwa adalah pemidanaan yang dipaksakan untuk menutupi kegagalan aparat membuktikan bahwa terdakwa adalah massa aksi demonstrasi yang anarkis melawan aparat keamanan,” ujarnya.
Keenam, Penasihat Hukum tidak menghadirkan alat bukti (saksi atau barang bukti) untuk membela kepentingan hak terdakwa. Penasihat Hukum tidak membuktikan bahwa terdakwa benar-benar mendapat penyiksaan saat proses penyidikan.
“Pledoi yang disampaikan oleh Penasihat Hukum tidak dipersiapkan secara serius untuk membela terdakwa, karena pledoi yang disampaikan oleh Penasihat Hukum tidak berkaitan dengan unsur perbuatan pidana yang dituduhkan,” katanya.
Terakhir, lanjut Haris, hakim dalam putusannya tidak mempertimbangkan penyiksaan yang dialami terdakwa supaya mengakui perbuatan selama proses penyidikan. Hakim tidak berusaha untuk memahami dan mempertimbangkan bahwa pemidanaan terhadap Terdakwa adalah pemidanaan yang dipaksakan.
Menurut Haris, hakim dalam putusannya telah mengabaikan aspek sosial yang peduli dengan keadilan, demokrasi, hak asasi manusia yang seharusnya tertuang dalam roh setiap UU yang dibuat oleh DPR.
“Hakim juga mengabaikan situasi dan kondisi negara yang sedang kacau, di mana masyarakat secara serentak melakukan aksi demonstrasi di banyak daerah untuk menolak revisi UU KPK dan menolak pengesahan RUU KUHP,” katanya.
Berdasarkan temuan-temuan di atas kata Haris, menunjukkan alfanya penerapan prinsip fair trial sehingga mengakibatkan terjadinya proses peradilan sesat.
“Hakim, JPU dan Penasihat Hukum terlihat hanya melaksanakan persidangan yang seolah-olah bersifat formalitas belaka untuk memperlancar jalannya persidangan,” ujarnya.