Semarang, Gatra.com - Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) di Jawa Tengah dalam lima tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Kondisi ini menunjukkan tingkat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan setiap tahun terus meningkat.
Kasi Statistik Keuangan dan Harga Produsen Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, Ies Driarti, menyatakan indeks NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani.
“Indeks NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani,” katanya kepada Gatra.com di Kantor BPS Jawa Tengah (Jateng) di Semarang, Selasa (4/2).
Menurutnya, indeks NTP pada 2015 antara 97,84 hingga 102,07, pada 2016 antara 98,88 hingga 101,52, pada 2017 antara 97,81 hingga 103,48, pada 2018 antara 101,16 hingga 103,64, dan 2019 antara 102,17 hingga 106,30.
Bila ideks NTP di atas 100, lanju Indri, panggilan Ies Driari, berarti petani mengalami surplus karena harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya sebab pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.
Jika indeks NTP sama dengan 100, berarti petani impas yakni kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi sebab pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.
Bila indeks NTP kurang atau di bawah 100, berarti petani mengalami defisit karena kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. “Pendapatan petani turun atau lebih kecil dari pengeluarannya,” ujar Indri.
Indeks NTP, lanjutnya, mempunyai kegunaan antara lain untuk mengukur kemampuan nilai tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi pertanian dan konsumsi rumah tangga. “Dengan melihat indeks NTP ini, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk petani, semisal bila harga gabah padi saat panen turun bisa memberikan subsidi pupuk pada waktu tanam,” katanya.