Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan akan meneken Undang-undang yang mendukung demonstran prodemokrasi di Hong Kong. Memicu kemarahan Cina, mengancam proses perundingan dagang.
-------------------
Gas air mata dan semprotan merica memecah kerumunan demonstran di Distrik Tsim Tsa Tsui, Hong Kong, menjadi tiga kelompok besar hingga bergeser dari tempat mereka berkumpul, Ahad lalu. Begitulah pemandangan yang sudah biasa terjadi di kota ini. Sudah hampir setengah tahun belakangan, wilayah itu dilanda protes besar-besaran. Namun para demonstran seperti tak habis energi, bahkan aksi tambah semarak. Terakhir, adanya dukungan dari Amerika Serikat atas demonstrasi ini membuat demonstran seperti mendapat peluru baru.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pun menjadi ikon perlawanan baru. Karena itu, banyak demonstran yang mengenakan kaus hingga topi dengan gambarnya, Juga ada spanduk bertuliskan “Presiden Trump, tolong merdekakan Hong Kong” dan “Terima kasih, Presiden Trump untuk hadiah berharga bagi Hong Kong dan Tuhan berkati Amerika”.
Selain itu, pada hari yang sama, ratusan warga juga berbondong-bondong melakukan pawai menuju Konsulat AS sambil membawa bendera AS. Aksi ini sebagai wujud ungkapan terima kasih mereka setelah Presiden AS Donald Trump meneken dua Rancangan Undang-Undang (RUU) pada 27 November silam. Ini menjadi bentuk dukungan “Negeri Paman Sam” terhadap aksi prodemokrasi.
Dalam RUU pertama disebutkan, setiap tahun Departemen Luar Negeri AS harus memastikan bahwa Cina tetap menjamin otonomi di Hong Kong. Ini menjadi syarat untuk mendapatkan status perdagangan khusus bagi Hong Kong. Sementara itu, RUU kedua melarang ekspor gas air mata, semprotan merica, peluru karet, dan berbagai senjata tidak mematikan kepada kepolisian Hong Kong.
RUU ini sudah disetujui Senat dan Parlemen AS. “Saya menandatanganinya untuk menghormati Presiden Cina, Xi dan orang-orang Hong Kong. Harapannya, pemimpin dan perwakilan Cina dan Hong Kong akan dapat menyelesaikan perbedaan mereka secara damai yang mengarah pada perdamaian jangka panjang dan kemakmuran bagi semua,” kata Trump seperti dikutip Reuters.
Langkah Trump ini langsung mendapat tanggapan dari Pemerintah Cina. Beijing memanggil Duta Besar AS dan mengancam akan melakukan aksi balasan atas aksi lancang AS dalam urusan internal Cina.
Trump sebelumnya mengatakan telah berhasil membatalkan rencana Cina untuk mengirim 1 juta tentara guna menumpas demonstrasi di Hong Kong. Kalau itu terjadi, katanya, akan ada “dampak sangat negatif” bagi perundingan perdagangan.
Wakil Menteri Luar Negeri Cina, Le Yucheng, mengatakan kepada Duta Besar AS Terry Branstad pada pertemuaan mereka 28 November lalu bahwa tindakan konstitusional Washington ikut campur merupakan pelanggaran sangat serius hukum internasional.
Le juga menekankan, jika Trump berani mengesahkan RUU tersebut menjadi UU, hubungan antara Washington dan Beijing akan sangat terpengaruhi.
Trump sendiri tidak menjelaskan apakah dia hanya menandatangani atau memveto undang-undang itu. Pasalnya, Pemerintah AS tengah mencoba mencapai kesepakatan dengan Cina dalam perang dagang. Apalagi, Trump sebelumnya sudah menjadikan rujuk dengan Cina sebagai prioritas utama agar dapat dipilih lagi pada pemilihan presiden tahun depan.
Para pejabat AS memperdebatkan apakah dukungan Trump dalam regulasi tersebut dapat merusak negosiasi dengan Cina. Namun, beberapa pejabat justru merekomendasikan penandatanganan untuk menunjukkan dukungan bagi para pengunjuk rasa.
Sejumlah pengamat menilai, keberpihakan AS kepada Hong Kong akan menguntungkan bisnis di kawasan. Jika Hong Kong hanya menjadi pelabuhan transit lain bagi Cina, perusahaan yang bergantung pada kawasan di sekitar akan memindahkan bisnisnya ke wilayah lain. Jika RUU ini disahkan AS, maka akan meringankan presiden memblokade wilayah yang menjadi kepentingannya.