Jakarta, Gatra.com - Rumah Bersama Untuk Papua dan Tim Pembela Papua mengecam Pengadilan Negeri Surabaya yang menjatuhkan hukuman ringan kepada Syamsul Arifin dan Tri Susanti, pelaku perbuatan rasisme di Surabaya, masing-masing 5 bulan dan 1 tahun penjara.
Berbanding terbalik dengan 6 tahanan politik Papua yakni Paulus Suryaan Ginting, Dano Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, dan Ariana Elope yang didakwa dengan tuduhan makar dan pemufakatan jahat, dengan Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP atau Pasal 110 Ayat (1) KUHP. Keenam tapol ini terkena ancaman pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun penjara.
Rumah Bersama Untuk Papua dan Tim Pembela Papua merasa adanya perbedaan dari cara penegak hukum memperlakukan pelaku ujaran rasial dengan aktivis papua. Oleh karena itu, dalam rilis terdapat empat tuntutan sebagai berikut:
1. Kejaksaan Agung RI dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan keadilan bagi rakyat Papua yang diperlakukan diskriminasi ras dan etnis.
2. Pengadilan Negeri Surabaya dalam menjatuhkan putusan memperhatikan nilai penghapusan diskiriminasi ras dan etnis dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku rasisme, tidak dengan mudah menjatuhkan hukuman yang ringan.
3. Pemerintah Indonesia untuk melakukan penegakan hukum secara utuh kepada seluruh pelaku rasisme di Surabaya.
4. PN Jakpus agar bersikap bijaksana memeriksa kasus 6 tahanan politik Papua dengan memberikan putusan bebas.
Paulus Suryaanta Ginting, salah satu tapol aksi Papua, juga merasakan ketidakadilan tersebut. Ia menjelaskan, kalau aksi demonstrasi hanya merespons kejadian ujaran rasisme di Surabaya. Sementara penyebab awal, pelaku rasisme hanya dihukum 5 bulan dan satu tahun penjara saja.
Suryaanta Ginting menjelaskan, bendera bintang kejora adalah cerminan dari luapan kemarahan masyarakat Papua. Jangan persoalkan bintang kejoranya, tetapi persoalkan kenapa ada rasisme, awal pemicu demonstrasi, yang membuat orang Papua murka sehingga tanpa skenario dan perencanaan, aksi serentak dijalankan.
"Aksi serentak ini mau dibebankan disalahkan mereka yang aksi di Jakarta, itu sungguh tidak adil," ujar Suryaata, usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (3/2).
Suryaanta Ginting menginginkan penegak hukum bisa melihat masalah rasisme Papua secara objektif dan keseluruhan, tidak hanya mempersoalkan bintang kejora. Kalau masih berlangsung, Papua akan mengalami rasisme yang terus berulang.
"Keberulangan rasisme akan terjadi, keberulangan penggunaan pasal makar akan terjadi, keberulangan pembunuhan massal dan penangkapan akan terjadi, kalau kita tidak suarakan ini terus menerus jangan salahkan rakyat Palua teriak merdeka," ujarnya.
Aksi oleh para aktivis Papua tidak untuk menyuarakan saparatisme, tetapi untuk memprotes rasisme yang dilakukan juga dengan kekerasan. "Kami di sini tidak ada saparatisme, yang ada kami aktivis kemanuasiaan," kata Ambrosius Mulait.
Sidang ini membahas keterangan dari dua saksi, yaitu pelapor Ade Manurung, aktivis Laskar Merah Putih, yang melaporkan aksi demonstrasi dengan menggunakan video dari YouTube sebagai barang bukti. Rekaman dalam video berisi para pendemo membawa tiga bendera bintang kejora, yang menurut saksi melambangkan saparatisme. Pelapor tidak berada di lokasi langsung.
Adapun saksi kedua, Kombes Pol Arie Ardian, koordinator pengamanan saat aksi aktivis Papua di depan Istana Negara. Arie Ardian menjelaskan, kejadian saat proses demonstrasi, yaitu adanya pengibaran bendera bintang kejora, orasi dan nyanyian-nyanyian yang menjurus ke saparatisme.
Sidang selanjutnya dengan agenda pemanggilan dan pemeriksaan saksi lainnya akan dilanjutkan pada Senin 10 Februari 2020 di PN Jakpus.
Reporter: FBA