Jakarta, Gatra.com - Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Budi Arie Setiadi, mengungkap ciri-ciri proyek anggaran desa fiktif atau tidak efektif dan transparan.
Budi di Jakarta, Sabtu (1/2), menyampaikan, setidaknya ada 12 ciri proyek dana desa fiktif atau tidak efek dan transparan yakni tidak ada papan proyek, laporan sama persis dengan Rencana Anggaran Belanja (RAB), dan lembaga desa pengurusnya semua keluarga kepala desa (kades).
Selanjutnya, kata Budi, BPD mati kiri alias pasif atau hanya makan "gaji buta", perangkat desa yang jujur dan vokal biasanya dipinggirkan bahkan disingkirkan, dan banyak kegiatan terlambat pelaksanaannyadari jawdal meski anggarannya sudah ada.
"Kemudian, musyawarah desa (musdes) pesertanya sedikit. Muka yang hadir itu-itu saja dari tahun ke tahun dan yang kritis tidak diundang," ungkapnya.
Ciri selanjutnya, kata Budi, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tidak berkembang, belanja barang dan jasa dimonopoli kades, tidak ada sosialisasi tentang kegiatan kepada masyarakat, serta Pemdes marah ketika ada yang menanyakan kegiatandan anggaran desa.
"Terakhir, kades dan perangkat dan dalam waktu singkat mampu membeli mobil dan membangun rumah dengan harga atau biaya ratusan juta. Padahal sumber penghasilannya tidak sepadandngan yang terlihat sebagai pendapatan," ujarnya.
Wamendes PDTT Budi pun mengajak masyarakat desa agar aktif mengawal dana desa, khususnya penggunanya agar tepat guna untuk membangun dan memajukan desa.
Imbauan ini juga agar tidak ada lagi kasus seperti yang terjadi pada penghujung 2019 yang sangat meresahkan pemerintah, yakni adanya desa fiktif atau siluman yang tentunya merugikan keuangan negara.