Jakarta, Gatra.com - Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam mengatakan akan menarik tanggung jawab internasional terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu jika pemerintah masih tidak memiliki kehendak untuk menyelesaikannya melalui proses yudisial.
"Dalam konteks konsep Hak Asasi Manusia (HAM), karena kasus-kasus ini sudah sangat lama dan tidak ada pergerakan yang signifikan, itu dalam sudah melampaui prinsip yang namanya Exhaustion of Domestic Remedies," katanya di Jakarta, Kamis (30/1).
Prinsip ini mensyaratkan dua kondisi, unwilling (ketidakinginan) dan unable (ketidakmampuan), agar kasus pelanggaran HAM berat ini bisa ditangani internasional. Anam menyebut, hasil kajian Komnas HAM, ke-12 kasus ini telah melampaui syarat unwilling yang artinya tidak terdapat keinginan pemerintah untuk menyelesaikannya secara yudisial.
"Contohnya kasus Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, sejak tahun 2002 berkasnya sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat, sampai detik ini belum ada proses yang signifikan," jelasnya.
Karena itu, lanjut Anam, masyarakat internasional memiliki kewajiban menyelesaikan kasus ini lantaran telah melampaui syarat unwilling. Internasional harus memastikan kasus ini diadili dengan cara yang benar. "Karena Pemerintah Indonesia dianggap memenuhi syarat unwilling makanya dianggap negara yang gagal menyelesaikan kasus ini. Kalau negara gagal, diambil alih oleh Internasional," ujarnya.
Bahkan, Anam menyebut telah melakukan konsultasi pada International Criminal Court (ICC), terkait kasus-kasus ini. Mekanisme peradilan internasional ini bisa melalui bermacam pengadilan seperti Hybrid Court, Mahkamah Internasional, atau bahkan di ICC sendiri.
"Jadi intinya ada tanggung jawab internasional yang bisa ditarik untuk menyelesaikan ini. Jadi bukan kita membawa kasus ke internasional, tapi internasional punya tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang macet di semua negara," tegasnya.