Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titik Anggraini mengatakan bahwa frasa "kawin/pernah kawin" sebagai salah syarat untuk bisa memiliki hak pilih selain berumur 17 tahun, merupakan pintu masuk untuk mempolitisasi anak.
"Pendekatan-pendekatan politik yang pragmatis, seolah-olah kemudian ada upaya untuk mendorong pernikahan anak dengan tujuan untuk mendapatkan suara di dalam proses Pemilu," kata Titi di Gedung Mahkamah Konsitusi, Jakarta (29/1).
Titik menyebut pada sidang putusan judicial review terkait frasa tersebut di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada), Mahkamah Konstitusi menolak untuk mengabulkan permohonan pemohon, yakni Perludem sendiri.
"Ini menjadi beban bagi penyelenggara Pemilu yang juga rentan dipolitisasi. Misalnya perselisihan hasil Pilpres kemarin, KPU banyak disorot, karena banyaknya pemilih di bawah berusia 17 tahun dan menjadi keraguan terhadap kualitas DPT," jelas Titi.
Titi menerangkan bahwa di banyak negara parameter seorang warga negara memiliki hak pilih adalah usia. Pada hasil putusannya, sambung Titi, MK mengedepankan cara konservatif dan kultural dalam memaknai kedewasaan, selain usia, yakni perkawinan itu sendiri.
Kendati menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dia Kartikasari, masih ada harapan agar frasa tersebut ditiadakan, yakni dengan meyakinkan anggota DPR.
"UU Pemilu yang masuk di Prolegnas (Proram Legislasi Nasional). Kami akan berusaha untuk meyakinkan agar DPR tidak menggunakan frasa tersebut, karena ini memiliki dampak yang cukup serius," kata Dian.