Jakarta, Gatra.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pemohon dalam pengajuan judicial review mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) terkait frasa "sudah/pernah kawin". MK menolak dalam sidang pembacaan putusan Perkara Nomor 75/PUU-XVII/2019 di ruang pengadilan MK, Jakarta Pusat, Rabu (29/1).
Pemohon ialah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), telah memohonkan untuk membatalkan frasa “sudah/pernah kawin” sebagai salah satu kualifikasi bagi warga negara, untuk dikatakan memenuhi syarat sebagai pemilih di dalam pemilihan kepala daerah pada November 2019 silam.
Direktur Eksekutif Titi Anggraini menyebut pihaknya tetap menghormati putusan MK hari ini. Namun, ada beberapa catatan mengenai putusan MK yang menurutnya tidak terlalu terang benderang.
"Kami cukup menyayangkan bahwa MK menggunakan pendekatan yang konservatif di dalam memaknai parameter kedewasaan warga negara. Alasan uji materi ini kami ajukan, karena adanya pengaturan tersebut bersifat diskriminatif, membedakan antara warga negara berusia 17 tahun dengan mereka yang sudah atau pernah kawin tetapi belum berusia 17 tahun, untuk bisa menggunakan hak pilih," kata Titi usai persidangan.
Pendekatan konservatif yang dimaksud ialah bahwa MK memaknai kedewasaan dengan parameter kultural bahwa seorang anak yang sudah melakukan pernikahan berarti "kuat gawe", sehingga memiliki kehendak untuk menentukan pilihan-pilihannya sendiri.
Selanjutnya, sambung Titi, tata kelola penyelenggaraan Pilkada yang makin diperumit karena persyaratan yang bermacam-macam, tidak hanya persyaratan usia tetapi juga persyaratan kawin.
Selain itu, pengajuan ini juga didorong semangat bersama untuk penghapusan perkawinan usia anak. Tidak serta-merta dilihat sebagai uji materi Pemilu, namun juga negara hadir secara menyeluruh untuk menolak perkawinan usia anak dan melakukan upaya optimal agar perwakilan anak tidak terjadi.
"MK menggunakan parameter kedewasaan terbatas pada perkawinan, seolah-olah ini melegalisasi pernikahan usia dini dan pekerja anak," tambahnya.
MK, lanjut Titi, dalam beberapa tahun terakhir cukup visioner dalam mengurusi urusan-urusan mantan nara pidana korupsi, ternyata masih sangat tradisional bila menggunakan parameter kedewasaan yang dilimitasi pada status perkawinan semata.