Jakarta, Gatra.com- Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mendesak BPJS Kesehatan untuk segera melakukan diskresi atau kebebasan pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar iuran BPJS Kelas III berpeluang kembali ke besaran sebelumnya yakni Rp 25.500.
“ Itu menyangkut 19 juta orang. Kita akan cari subsidi lah. Kira-kira tidak naik. BPJS [Kesehatan] memiliki solusi, tetapi terkendala adanya multitafsir dalam diskresi yang mau diambil di Perpres Pasal 21. Oleh karena itu, kita meminta pendapat dari Kejaksaan Agung dan BPK,”ujarnya saat FGD yang diselenggarakan Komisi IX di Gedung DPR, Selasa malam (28/1/2020).
Mengomentari pendapat Dasco, Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, akan mengambil masukan dari Kejaksaan Agung dan BPK. Menurutnya, BPJS Kesehatan dapat melakukan diskresi. Dalam konteks tersebut, harus didahului dengan penyebutan lembaganya. Sedangkan di dalam peraturan tidak ada penyebutan lembaganya.
“Dalam istilah lain, [diskresi] bukan berarti opsional tetapi bisa dilihat dari kacamata hukum. Kami harus melaporkan terlebih dahulu dengan atasan kami [presiden] sesuai kajian hukum yang dilakukan BPJS Kesehatan dan Dewan Pengawas,” tutur Fachmi.
Ia memaparkan, pada 23 Desember, Dewan Pengawas telah mengirim surat kepada BPJS Kesehatan. Berdasarkan kajian, terdapat potensi risiko hukum apabila dilakukan diskresi. Oleh karena itu, harus terdapat kewenangan deligitimasi yang diberikan oleh pemerintah. Terutama tanpa ada peraturan lebih lanjut mengenai aset bersih Direksi BPJS. Kondisi ini juga telah dikoordinasikan dengan Menkes, Menkeu, maupun Menko PMK RI sebagai tindak lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum) Ali Mukartono menuturkan, diskresi tidak melanggar hukum asalkan dilakukan untuk kepentingan umum. Selain itu, ia menegaskan persyaratan selanjutnya, tidak menguntungkan salah satu pihak.
“ [Perlu dilihat] apakah untuk kepentingan umum atau tidak? Apakah terdakwa tidak mendapatkan keuntungan? [Kalau untuk kepentingan umum dan tidak bertujuan mendapatkan keuntungan], sifat melawan hukum menjadi tidak ada. Perkara itu lepas, meski melawan hukum. Berkaca dari sini, jangan takut dikatakan tindakan pidana korupsi,” ujarnya.
Kemudian Ali mencontohkan dengan kasus yang sebelumnya pernah terjadi yaitu dana abadi umat. Saat itu, Kementerian Agama menambah dana abadi untuk kemaslahatan umat. Pengaturannya berdasarkan Pasal 43 yang menyebut, secara limitatif ada tiga jenis pembayaran yaitu pembayaran manfaat dan jaminan sosial, serta investasi.