Jakarta, Gatra.com - Pegiat kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia yang terdiri dari YLBHI, Paritas Institute, HRWG, LBH Jakarta, GUSDURian, Pusat Paramadina, dan Lakpesdam PBNU melihat selama 12 tahun terakhir, negara cenderung menggunakan pendekatan favoritisme dan represif dalam mengatasi isu-isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia.
Berdasarkan kasus-kasus yang telah terjadi, mereka menyimpulkan, alih-alih meredam konflik yang terjadi di masyarkat, dua pendekatan yang dilakukan oleh negara justru mempertajam konflik yang terjadi pada masyarakat tersebut. Lebih dari itu, bahkan dapat memperparah segregasi-segregasi antarumat beragama.
Adapun peningkatan pelanggaran atas hak dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia terjadi karena adanya produk kebijakan yang diskriminatif serta pembiaran dan ketidaktegasan negara.
Alissa Wahid dari Jaringan GUSDURian mengatakan, Outlook kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia saat ini masih suram, bahkan cenderung akan memburam ke depannya jika negara tidak menjalankan perannya dalam menegakkan hukum yang berlandasan konstitusi.
Ia mengkhawatirkan, kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan yang semakin banyak terjadi di Indonesia ke depannya akan melahirkan norma baru yang bisa meningkatkan kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan.
"Saya melihat pendekatan favoritisme adalah suatu bentuk pandangan yang membuat kelompok mayoritas merasa lebih berhak daripada kelompok minoritas dalam mengambil tindakan apapun tanpa memperhitungkan hak-hak dasar manusia," kata Alissa saat konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Selasa (28/1).
Reporter: RRA