Gunungkidul, Gatra.com – Sejumlah mantan pemulung di Gunungkidul diminta meninggalkan rumah program bantuan Kementerian Sosial yang dihuni sejak 2016. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul baru menyebut lokasi itu bukan area permukiman dan rawan bencana.
Salah satu mantan pemulung, Kasiyem (45), bercerita, telah memulai kehidupan baru di rumah itu. Untuk mendapat air bersih layak konsumsi, misalnya, dia memang harus berjalan kaki ke sumber air terdekat di sebuah bukit sejauh 800 meter. Air sungai di kaki bukit untuk mandi dan mencuci.
“Setiap hari begini Mas, sejak tinggal dua tahun lalu. Kehidupan di sini jauh lebih baik dibanding dulu saat keliling jadi pemulung. Makanya, saya enggak mau pindah. Saya ingin tinggal di sini selamanya,” kata Kasiyem saat berbicara pada Gatra.com di belakang rumahnya, Selasa (28/1).
Inilah sekelumit kehidupan salah satu pemulung yang menempati rumah dari Kementerian Sosial melalui program Desa Menanti. Program yang digagas medio 2014-2015 ini menyeleksi para pemulung untuk memiliki rumah dan menjalani kehidupan lebih baik.
Sayangnya, keinginan warga Ponjong, Gunungkidul, itu terancam saat Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten Gunungkidul menerbitkan surat pada Maret 2019.
Dalam surat itu, kawasan tempat tinggal Kasiyem di lereng perbukitan RT 08, RW 02, Padusunan Doga, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, itu dinyatakan tak boleh jadi permukiman. Kawasan dengan 40 rumah tipe 30 ini akan difungsikan sebagai area pelatihan keterampilan.
Perjalanan ke kawasan sejauh 20 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta itu cukup melelahkan. Dari kaki Gunung Api Purba Nglanggeran, kawasan ini berjarak sekitar tiga kilometer. Setelah dari jalan utama, area perumahan di tanah Keraton Yogyakarta itu masih harus ditempuh satu kilometer lagi.
Permukiman ini dibangun pada 2014. Pada 2015, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengunjungi lokasi untuk mengundi pemilik rumah. Kasiyem termasuk salah satu pemulung yang beruntung
Namun kini ia sudah menerima tiga surat peringatan. Ia dan 23 warga lain harus angkat kaki dari rumah mereka. “Pertama kali menempati tidak ada listrik dan air. Listrik baru tersalur setahun terakhir. Itu pun kami usahakan sendiri dengan patungan,” katanya.
Penghuni lain, Mujinah (53), vokal atas rencana Pemkab Gunungkidul mengusir warga dari kawasan ‘Desa Menanti’. Menurut dia, perumahan tersebut mulai boleh ditempati pada 2016 dan kini hampir seluruh rumah dihuni.
“Tapi karena fasilitas yang sangat-sangat kurang dan jauh dari keramaian, banyak yang memutuskan kembali ke jalanan. Ini sangat disayangkan. Di sini sebenarnya hidup jadi lebih baik karena diberi ketrampilan,” katanya.
Kementerian Sosial bahkan melatih warga laki-laki bertukang, juga membuat pintu dan kusen. Adapun perempuan diajari menjahit, memasak, dan mengolah bahan daur ulang.
Mujinah bercerita, usai penerimanya diundi, selama setahun tidak ada info lebih lanjut soal rumah itu mulai bisa dihuni. Karena merasa sudah masuk daftar penerima rumah, Mujinah dan 23 warga nekat menempati rumah meski belum ada serah terima kunci.
“Kami akan tetap bertahan meski ada pemberitahuan akan dikosongkan. Rumah ini sudah menjadi milik kami karena kami lolos seleksi dan terpilih. Kami tidak ingin turun di jalanan lagi,” katanya.
Kepala Kepala Seksi dan Rehabiliatsi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta Widianto menjelaskan program Desa Menanti memberi bantuan Rp30 juta ke sejumlah pemulung.
“Program ini dilaksanakan di lima daerah percontohan yaitu Pasuruan, Malang, DIY, Padang, dan Karangasem. Di empat daerah lainnya sukses karena penerima dibebaskan memilih lahan yang diinginkan,” katanya.
Hanya DIY yang berbeda. Sempat pindah dua kali di Panggang dan Paliyan, Bantul, lokasi di Patuk ini memanfaatkan Sultan Ground seluas lima hektar. Widianto mengatakan anggaran pembangunan kawasan Rp1,2 miliar dan setiap rumah bernilai Rp30 juta.
Widianto mengatakan para penghuni ini diusir karena kawasan ini bukan untuk permukiman dan rawan bencana. Namun pusat keterampilan akan dibangun di lokasi tersebut.
Namun Widianto mengatakan Pemda DIY, melalui Satpol PP, tidak bisa melakukan tindakan ke penghuni karena kawasan ini belum diserahterimakan Kemensos. Padahal Dinas Sosial DIY sudah menyediakan penampungan sementara bagi penghuni.
“Tahun 2016 kami sempat akan membangun infratrusktur pendukung, tapi disemprit karena ketidakjelasan aset. Sampai hari ini kami masih terus berkoordinasi dengan Kemensos terkait masalah ini,” katanya.