Banyumas, Gatra.com - Diskusi, pembacaan puisi, pementasan seni maupun dialog sastra menjadi agenda rutin, yang digelar di Umah Satra Ahmad Tohari yang berada di objek wisata Agro Karang Penginyongan, Desa Karangtengah, Cilongok, Banyumas.
Rumah studi sastra yang mulai digagas sejak tahun 2018, dan secara resmi dibuka untuk umum pada akhir pekan lalu tepatnya Sabtu (25/1) itu, menjadi ruang untuk mempelajari dunia kesusasteraan secara lebih luas. Selain itu juga wadah untuk berkumpulnya para sastrawan dari Banyumas dan sekitarnya.
Penggunaan nama Ahmad Tohari, karena Ahmad Tohari adalah salah satu penulis nasional asli Banyumas. Dari olah pikir dan olah rasanya, Tohari sudah melahirkan karya-karya yang melegenda. Di antaranya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dinihari (1985), dan Jantera Bianglala (1986). Bahkan karya-karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
"Ini (Umah Sastra Ahmad Tohari) menjadi semacam musuem. Ada bank data yang berisi karya yang pernah mengulas karya Ahmad Tohari, seperti skripsi dan tesis. kita juga sedang membuat video profil tentang Ahmad Tohari," kata penyair, sekaligus pengelola Umah Sastra Ahmad Tohari, Dimas Indiana Senja belum lama ini, kepada Gatra.com.
Dia menambahkan, selain menyimpan karya sastra Ahmad Tohari, pihaknya akan menggelar pementasan secara rutin, baik itu teater, sastra serta kelas menulis yang berujung pada penerbitan buku. "Jadi harapannya nanti menjadi pusat studi sastra secara umum, tidak hanya karya Ahmad Tohari, tapi juga ada karya lainnya," kata dia
Sementara itu, Ahmad Tohari sendiri mengaku, dengan penggunaan namanya untuk sebuah tempat belajar sastra merupakan sebuah kebanggaan. Selain itu dia ingin membuat karya sastra semakin disenangi masyarakat, terutama pelajar. Karena dengan adanya Umah Sastra para pelajar di Banyumas bisa belajar, berdiskusi Sastra sepuasnya.
"Sastra membangun sebuah pribadi. Mengembangkan pola pikir secara intelektual dan perasaan. Kalau hanya pintar secara intelektual, tapi tidak perasaan, maka kita tidak berkembang secara lengkap. Intelektual saja tidak cukup. Perlu penyeimbang aspek sensitifitas. Omah Sastra ini diharapkan dapat membangun perasaan itu melalui bacaan sastra," katanya.
Selain itu, kata Tohari, karya sastra juga memberikan sentuhan rasa peduli serta mengasah kepekaan dan kemanusiaan. Bahkan penanaman karakter jauh lebih mudah melalui ilmu sastra. Sebagian besar karya Tohari pun memunculkan karakter egalitarian ini.