Jakarta, Gatra.com - Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) berkunjung ke kantor Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). GIAD berkunjung ke PGI untuk berdialog tentang Amendemen UUD 1945 dan GBHN. Amandemen harus ditolak.
Lewat hasil kongres V pada 2019, PDIP mendorong amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Saya kira harus ditolak, bukan waktu yang tepat untuk mengamandemen UUD sekarang ini. Kenapa harus ditolak Karena tidak ada alasan yang kuat untuk memberikan kepercayaan penuh pada DPR atau MPR sekarang untuk melakukan amandemen," ujar Lucius Karus, salah satu anggota GIAD, di kantor PGI, Jakarta, Senin (27/1).
Menurut GIAD, upaya untuk mendudukan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat mengacaukan konstruksi presidensialisme dan mekanisme check and balances dalam relasi Presiden - DPR. Serta alasan penyusunan GBHN oleh MPR untuk mewujudkan pembangunan komprehensif, juga sulit diterima karena tuntutan perencanaan pembangunan nasional berbasis UU No. 25 Tahun 2004 cukup integratif dan komprehensif.
Amandemen diketahui pernah dilakukan hingga 4 kali. GIAD yang beranggotakan 9 orang ini, juga menambahkan bahwa terdapat perbedaan pada setiap perubahan amandemen. Perbedaannya situasi di tahun 1999 sampai 1992, niat amandemen itu muncul dari keinginan hampir seluruh masyarakat Indonesia, yang kemudian dieksekusi oleh MPR saat itu.
"Pada berubahan amandemen sekarang, keinginan amandemen itu datang dari elite, dipaksakan kepada masyarakat dan kelompok masyarakat untuk ikut mendukung, jelas itu dua hal yang berbeda," ujar Anggota GIAD yang kompak saat berdialog dengan PGI.
Reporter: HSB