Indonesia masih memiliki sektor yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Dilihat dari jangka pendek, sektor domestic based masih menjadi jawara, tidak ada yang lain.
Jakarta, Gatrareview.com – Ditengah stagnasi pertumbuhan ekonomi global, Indonesia punya sejumlah sektor yang masih menyimpan harapan. Kabar yang kurang menyejukkan ekonomi dunia itu datang ketika lembaga moneter internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam World Economic Outlook edisi Januari 2020 memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Mereka menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini menjadi 3,3% dari proyeksi sebelumnya yang dirilis Oktober 2019 sebesar 3,4%.
Di Indonesia, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menilai, siklus ekonomi Indonesia masih belum mencapai puncaknya. Sehingga, ke depan, masih dimungkinkan bagi perekonomian Indonesia untuk tumbuh semakin besar. “Di Indonesia saat ini, siklus ekonomi sudah melewati titik terendah dan terus mengalami peningkatan. Siklus ekonomi mencerminkan bagaimana dinamika ekonomi kita dan sejalan dengan perkembangan dalam dan luar negeri,” kata Perry usai konferensi press hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, di Kompleks Perkantoran Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (23/1).
Perry menyebut BI akan terus memperhatikan siklus ekonomi dan keuangan dalam negeri, untuk dapat menentukan arah kebijakan moneter di kemudian hari. Tidak hanya itu, BI juga akan terus mencermati siklus ekonomi global. Sebab, kondisi ekonomi dunia juga sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi domestik. "BI memperkirakan siklus ekonomi dunia akan naik, dari semula kami prediksi pertumbuhan ekonomi global 3,1%, jadi bisa naik ke 3,2%," katanya.
Menanggapi sejumlah pesimisme global dan perkembangan didalam negeri, Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro melihat Indonesia masih punya harapan. Ia mengungkapkan kalau dilihat dari jangka pendek, sektor food and beveradges (F&B) dan pariwisata (tourism sector) bisa menjadi penopang jika faktor lain semisal manufaktur masih saja lesu.
Salah satu alasannya, ungkap dia, maraknya tren pergi ke luar negeri untuk berlibur mendorong pariwisata lokal tetap bersaing. Sektor lainnya yang juga bisa diandalkan, yakni perawatan kesehatan (health care), serta pendidikan (education). Asmo sendiri menilai, infrastruktur yang menjadi fokus pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama terbilang tepat. Meskipun dampak pembanguannya belum terasa signifikan.
Di periode kedua, ia yakin fokus membangun daya saing (competitiveness) melalui sumber daya manusia akan melengkapi pembangunan infrastrktur yang sudah dijalankan sebelumnya. “Ya memang bukan jalan yang mudah (low-hanging fruit) untuk menjawab persoalan semuanya, tapi kalau kita tidak lakukan itu, kita akan semakin tertinggal,” katanya.
Membangun SDM itu, lanjut dia, konsekuensinya membangun dua hal. Yaitu dari pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur bisa dilakukan bersamaan dengan target jangak pendek, misalnya mengurangi impor dengan hilirisasi.
Pemerintah menurutnya harus memotong penyebab impor besar tanpa mengganggu proses produksi. Sisanya, hilirisasi kebutuhan yang masih bisa diproduksi dan ada bahan bakunya di Indonesia. Misalnya industri untuk kesehatan ada tidak yang masih bisa dibangun atau bahan bakunya di sini. Kesehatan merupakan salah satu yang permintaannya (demand) tinggi. "Yang lainnya mau tidak mau tetap jawabannya adalah balik ke sektor industri manufaktur. Kalau Jokowi di periode pertama membangun infrastruktur itu adalah untuk mengejar ketertinggalan,” kataya.
Ketika ketertinggalan sudah bisa dikejar, maka SDM yang berkualitas bisa dicapai. Meski begitu, jangan terlalu berharap dengan perbaikan infrastruktur kemudian Indonesia langsung lompat menjadi yang terbaik di ASEAN. Sejumlah negara lain sudah bertahun – tahun membangun infrastrukturnya lebih dulu.
Ia menambahkan, meningkatkan ekspor ke depannya adalah sesuatu hal yang memang wajar dan sangat perlu dilakukan karena kalau tanpa penguatan ekspor, ketersediaan dollar di dalam negeri juga akan terbatas. Walaupun masih bisa mengandalkan investasi. Namun, kalau investasi yang masuk hanya memanfaatkan pasar Indonesia saja tetap akan mendorong impor yang besar tanpa ada pendapatan dari dollar. "Ini akan tetap beban, pressure ke currency kita. Investor masuk, tapi cuma untuk tapping market kita yang besar, bukan untuk ekspor,” katanya.
Reporter : Ryan Sara Pratiwi, Qanita Azzahra