Pekanbaru, Gatra.com - Selembar kertas milik DR. Nurul Huda dan Partner itu hinggap di kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau di kawasan jalan Sudirman Pekanbaru, Rabu (22/1).
Poin penting surat itu adalah meminta supaya DLHK Riau menghentikan aksi penebangan pohon kelapa sawit milik petani dan bapak angkatnya di Desa Gondai Kabupaten Pelalawan. Lampiran surat itu sudah pula melayang ke Gubernur Riau, Syamsuar hingga ke sejumlah stakeholder terkait.
Baca juga: Gara-Gara Kasus Gondai, Pemprov Riau Terancam Bangkrut
"Apa yang dilakukan oleh DLHK itu sudah membikin gaduh dan bahkan sudah mengangkangi ragam produk hukum. Itulah makanya kami minta DLHK untuk segera menghentikan penebangan pohon kelapa sawit itu," kata Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Riau, ini kepada wartawan di Pekanbaru.
Lebih jauh lelaki 32 tahun ini menyebut, DLHK sudah mengangkangi pasal 7 ayat 2 huruf F dan pasal 55 U 30 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Di pasal 7 ayat 2 huruf F itu disebut bahwa Pemerintah wajib memanggil masyarakat terkait persoalan Putusan Tata Usaha Negara. Lalu di pasal 55 itu dikatakan, setiap keputusan TUN wajib mempertimbangkan aspek hukum, sosiologis dan aspek filosofis. Dua ini enggak dipakai mereka," Nurul mengurai.
Ini menjadi pelanggaran serius lantaran DLHK sudah melampaui dan mencampuradukkan wewenang. "Pejabat yang terlibat dalam eksekusi itu bisa diberhentikan secara tidak hormat dan bisa dipidanakan dengan alasan penyalahgunaan jabatan. Pejabat ini juga bisa diseret ke Pengadilan Perdata lantaran dia sudah melakukan perbuatan melawan hukum. Untuk Pengadilan Perdata ini, si pejabat diancam ganti rugi," ujarnya.
Menurut Nurul pelaksanaan eksekusi pidana itu macam-macam. Kalau pelaksanaan eksekusinya Jaksa Penuntut Umum terhadap suatu putusan pengadilan, itu bisa serta merta dilaksanakan.
"Tapi kalau pelaksanaan putusan Pengadilan diserahkan kepada eksekutif (DLHK), mestinya DLHK mendengarkan dulu pendapat masyarakat. Bisa saja DLHK mengundang masyarakat untuk membicarakan terkait apa yang bakal dieksekusi," katanya.
Jadi, lantaran pelanggaran tadilah makanya, Nurul dan kawan-kawan meminta supaya mulai Rabu (22/1), DLHK Riau menghentikan penebangan itu dan pejabat TUN terkait, segera mencabut keputusan pelaksanaan eksekusi.
"Kalau permintaan itu mereka abaikan, kami akan gugat ke PTUN, Pengadilan Negeri dan laporan pidana. Sebab itu, sederet pelanggaran yang mereka lakukan, sudah berbau perdata dan pidana," terangnya.
Urusan perdata kata kuasa hukum Peputra Supra Jaya (PSJ) ini, pihaknya akan menuntut ganti rugi sebesar Rp12,4 triliun. "Kebetulan kami sudah minta Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menghitung kerugian tegakan pohon kelapa sawit itu," katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau belum merespon terkait apa yang dikatakan oleh Nurul tadi. Tapi sebelumnya, Kepala Seksi Penegakan Hukum (Gakkum) DLHK Riau, Agus Puryoko menyebut bahwa pihaknya hanya menindaklanjuti keputusan eksekusi yang sudah dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Pelalawan.
"Peninjauan Kembali (PK) tidak menghalangi proses eksekusi dan kalaupun ada yang menghalangi, kita akan tetap menjalankan putusan Mahkamah Agung itu. Kebun kelapa sawit ini ada di kawasan hutan dan musti kita pulihkan dengan tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI)," katanya.