Sleman, Gatra.com – Kejaksaan Agung menyatakan tragedi Semanggi pada 1998 bukan suatu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia saat kejadian itu, yang kini menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Wiranto, enggan menanggapi hal ini.
“Wantimpres sesuai UU tidak dibenarkan membicarakan hal-hal yang disampaikan kepada presiden kepada publik,” kata Wiranto di kampus Universitas Gadjah Mada, Selasa (21/1).
Wiranto datang ke UGM bersama empat anggota Wantimpres lain, yaitu Muhammad Luthfi bin Yahya, Muhammad Mardiono, Sidarto Danusubroto, dan Agung Laksono. Untuk pertama kali, Wantimpres berkunjung ke perguruan tinggi dan memilih UGM guna berdiskusi soal masalah bangsa.
Menurut Wiranto, saat ini ia fokus menjadikan Wantimpres memiliki andil besar dalam proses pembangunan dan kebijakan pemerintah. Tanpa melibatkan banyak pihak, kata dia, sembilan anggota Wantimpres tidak akan pernah bisa memberikan masukan, nasihat, dan pertimbangan kepada presiden.
“Tugas presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan sangat banyak dan berat. Di sinilah kami membantu presiden mengingatkan kembali tentang ide, program, atau kebijakan yang akan dijalankan maupun telah dijalankan. Tentunya dengan evaluasi umpan baliknya,” katanya.
Menurut Wiranto, masukan UGM sangat positif dan akan dibahas serta diperdalam, dielaborasi, dan disimpulkan bersama kelompok ahli yang akan dibentuk.
“Kami tidak ingin Wantimpres ini digaji negara tanpa bekerja. Kami akan keluar dan bertemu banyak pihak untuk mendengarkan serta berbicara tentang kondisi negara. Jadi maaf, saya tidak menjawab karena diperintah UU,” kilahnya.
Pekan lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut kasus Semanggi I dan II pada masa awal Reformasi bukan kasus pelanggaran HAM berat. Saat peristiwa Semanggi I, Wiranto selaku Panglima ABRI dituduh sebagai aktor utama atas kejadian yang menewaskan warga sipil itu.