Serangkaian unjuk rasa melanda Iran setelah insiden tertembaknya pesawat sipil Ukraina. Amerika Serikat berada di balik pendemo lewat dukungan anggaran terhadap perusahaan teknologi penyedia akses internet yang membuat warga Iran bisa menembus konten-konten terlarang.
Kegentingan yang luarbiasa tersirat pada ibadah sholat Jumat di masjid utama Teheran. Untuk pertamakalinya sejak 2012, Pemimpin Besar Iran, Ayatollah Ali Khamenei berdiri di atas mimbar, berkhotbah membela Korps Gard Republik Iran yang dihujat paska insiden penembakan pesawat Boeing 737-NG milik Ukraine International Airlines, 8 Januari lalu.
Dalam khotbahnya putra pendiri Republik Islam Iran Ayatollah Khomeini ini mengatakan jatuhnya pesawatnya yang menewaskan 176 orang di dalamnya adalah 'tragedi pahit'. Pesawat Ukraina itu tidak sengaja jatuh ditembak militer Iran sesaat setelah lepas landas dari Bandara Teheran menuju Kyiv saat Iran meluncurkan balasan untuk AS. Selanjutnya dia menuding musuh-musuh Iran memanfaatkan kecelakaan itu untuk 'melemahkan' Korps Garda Revolusi Iran.
"Tapi ada yang mencoba untuk ...melupakan sahidnya Soleimani," katanya. Jamaah yang memadati masjid besar Teheran juga jalan-jalan di depannya meyambut dengan teriakan "Matilah Amerika". Soleimani yang dimaksud adalah Jendral Qaseem Soleimani, komandan Korps Garda Republik Iran yang dibunuh rudah AS saat berkunjung ke Irak, 3 Januari 2020.
Khotbah pertama dalam delapan tahun terakhir ini mengindikasikan situasi yang dihadapi Iran tidak mudah. Dalam beberapa pekan terakhir, negeri itu menghadapi tekanan kuat dari luar dan dalam negeri. Khamenei perlu tampil langsung untuk menyeru dukungan dan memenangkan situasi.
Duka rakyat Iran atas kematian Jendral Soleimani yang kharismatik itu berbalik menjadi amarah setelah pemerintah dan militer dianggap menutup-nutupi penyebab jatuhnya pesawat Ukraina yang sebagian besar penumpangnya warganegara Iran dan Kanada. Pemerintah baru mengakui keteledorannya tiga hari setelah peristiwa itu.
Alih-alih mendinginkan suasana, pengumuman militer itu seperti menyiramkan bensin ke tengah-tengah api protes. Protes kecil di sebuah universitas membesar dengan cepat menjadi demo besar di Teheran. "Mereka berbohong bahwa musuh kita adalah Amerika! Musuh kita ada di sini," teriak para pendemo. Mereka berkumpul di Lapangan Azadi Teheran, Minggu malam pekan lalu (12/1).
Dalam video yang diterima Center for Human Rights in Iran dan diverifikasi oleh The Associated Press, pendemo dibubarkan dengan gas airmata. Dalam video yang lain terlihat seorang wanita digotong dengan darah yang berceceran. Orang-orang di sekitarnya berteriak bahwa dia ditembak kakinya. Foto dan video setelah kejadian menunjukkan genangan darah di trotoar.
Kepala polisi Teheran, Jenderal Hossein Rahimi membantah petugasnya menembakan gas air mata. "Polisi tidak menembak para pendemo," tegasnya kepada media Iran. Aksi ini tidak berlarut-larut dan bisa diredam dalam waktu singkat. Tidak seperti demo November lalu yang membakar Iran hingga sepekan.
Presiden Donald Trump secara terbuka mendukung para demonstran, bahkan mengancam pemerintah Iran untuk tidak menembaki para demonstran. Hebatnya, bentuk dukungan itu bukan cuma cuitan-cuitan di twitter Trump tapi juga lewat anggaran khusus. Pemerintah Trump menyediakan anggaran sedikitnya USD 65.5 juta untuk program bernama Internet Freedom, naik 30 persen dibandingkan jaman Obama.
Lewat anggaran ini, Pemerintah AS mendanai perusahaan-perusahaan teknologi yang bisa menyediakan akses bagi warga Iran untuk mengakses situs-situs yang diblokir pemerintah Iran. Atas nama kebebasan internet, program ini membantu warga Iran, termasuk para pembangkang untuk mengakses konten-konten terlarang.
Seorang pejabat kementerian luar negeri (Kemenlu) AS yang dikutip Financial Times, Minggu (19/1) mengatakan, sejak protes besar Iran 2018, Washington telah mempercepat upaya menambah opsi akses komunikasi warga Iran. Baik sesama mereka maupun dengan dunia luar.
Dengan dukungan AS yang menyediakan aplikasi dan server, warga Iran bisa mengunjungi situs-situs yang terlarang, menginstal aplikasi anti sadap dan lainnya. "Kami bekerjasama dengan perusahaan teknologi untuk membantu aliran informasi yang berperan dalam protes Iran minggu lalu," kata pejabat Kemenlu AS yang menjadi sumber Financial Times. "Kami mensponsori VPN dan itu memungkinkan warga Iran menggunakan internet."
Rakyat Iran sudah bertahun-tahun menggunakan VPN di ponsel dan komputer untuk menyamarkan lokasinya agar bisa bebas mengakses situs-situs yang diblok oleh pemerintah.
Sebuah perusahaan Kanada meluncurkan software bernama Psiphon yang menyediakan koneksi pribadi dan aman bagi warga Iran untuk bermanuver melalui firewall guna menjangkau server-server di negara-negara Barat. Menurut catatan mereka, pengguna Psiphon di Iran meningkat hingga 25 persen sepanjang Januari. Penggunanya mencapai 3 juta orang seperti dikatakan Michael Hull, presiden dan co-founder Psiphon. Perusahaan ini juga mendapat bantuan keuangan dari pemerintah AS.
Pemerintah AS juga mendukung lembaga nirlaba NetFreedom Pioners yang menyediakan akses untuk mengunduh Psiphon, layanan VPN, aplikasi pesan terenkripsi dan berita dari 200 penerbit. Kelompok yang berbasis di California ini menyiapkan bundel data harian yang dipancarkan melalui satelit dan bisa diakses tanpa jaringan internet. Bundel ini mencakup podcast, tangkapan layar situs web berita seperti BBC Persia, Ted Talks, dan alat untuk membantu memasang pesan aman di ponsel.
"Kami membuat paket data lebih besar dan disertai lebih banyak alat pengiriman pesan," kata Mehdi Yahyanejad, pendiri NetFreedom Pioneers, tentang upayanya membantu pengunjuk rasa menghindari pengendalian internet pemerintah. Menurut dia, saat ini sudah 4 juta orang Iran mengunduh data mereka.
Untuk mengantisipasi penutupan jaringan internet di masa depan, pejabat-pejabat AS dan perusahaan teknologi lainnya mempertimbangkan jenis teknologi yang bisa menawarkan solusi aplikatif. Seperti piranti pengirim pesan offline melalui Bluetooth dan jaringan peer-to-peer tanpa koneksi internet. Sejumlah laporan mengatakan aplikasi pengirima pesan offline semakin populer sejak protes besar November lalu.
"Aplikasi pesan offline semakin populer dan semakin banyak pengguna yang menyadari keunggulannya," kata Fereidoon Bashar, Direktur Eksekutif ASL 19, perusahaan teknologi Kanada yang memasok perangkat lunak ke Iran. Layanan ini meningkat 50 persen sejak protes minggu lalu, katanya.
NetBlock, observatorium internet independen mengatakan keputusan pemerintah Iran menutup layanan internet dan ponsel selama seminggu berhasil menghambat kemampuan para pengunjuk rasa untuk berkoordinasi dan mengakses informasi.
Bahkan Kementerian Keuangan AS memberi keringanan penggunaan aplikasi semacam itu untuk Iran meskipun pemerintah Trump menerapkan sanksi ketat sejak menarik diri perjanjian nuklir 2015 (Joint Comprehensive Plan of Action/JOPCA). Tanpa perlakuan khusus, perusahaan yang berbisnis dengan Iran bisa mendapat sanksi AS.
"Kami benar-benar mengharapkan protes ini berlanjut. Karena rezim Iran menghadapi krisis legitimasi dan kredibilitas," kata Brian Hook, perwakilan khusus AS untuk Iran.