Pekanbaru, Gatra.com - Sudah lebih dari sepekan Salam Paisal tak bisa tidur nyenyak. Hampir 24 jam dia terpaksa berjaga di tenda yang sengaja dibangun di kebun kelapa sawit di kampungnya di kawasan Langgam Kabupaten Pelalawan, Riau.
Tak hanya Salam, ratusan lelaki dewasa di saja juga bernasib sama. Mereka berjaga-jaga bukan lantaran serangan gajah liar, tapi oleh raungan alat berat suruhan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau menebangi pohon kelapa sawit bapak angkat koperasi mereka, PT Peputra Supra Jaya (PSJ).
Makin hari mereka semakin ketar-ketir lantaran tak lama lagi, giliran kebun kelapa sawit mereka yang bakal dihajar oleh alat berat yang konon milik PT Nusa Wana Raya (NWR).
Perusahaan pemasuk kayu akasia ke pabrik kertas milik PT Riau Andalan Pulp And Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, ibukota Kabupaten Pelalawan memboncengi DLHK Riau untuk meluluhlantakkan pohon-pohon kelapa sawit yang sudah berumur lebih dari 10 tahun itu.
Kalau dihitung-hitung, ada lebih dari 500 kepala keluarga --- lebih dari 2000 jiwa --- di Desa Pangkalan Gondai dan Langkan yang bakal kelimpungan mencari sumber penghidupan baru setelah pohon sawit mereka ditebang dan tanahnya dirampas. Termasuklah kebun milik Salam tadi.
Kebun kelapa sawit itu hasil dari tetua adat setempat yang menyerahkan lahan kampung mereka ke PT Peputra Supra Jaya (PSJ) untuk dijadikan kebun kemitraan dengan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).
Tiap kepala keluarga di kampung itu kemudian kebagian 2 hektar. Semuanya tergabung dalam Koperasi Gondai Bersatu dan Sri Gumala Sakti. "Kami tak tahu mau gimana lagi pak. Sawit kami bakal ditebangi semua. Padahal itulah satu-satunya sumber penghidupan kami," Masni tak bisa lagi menahan air matanya saat mengantar makanan ke tenda penjagaan itu, Minggu (19/1).
Menengok istri-istri di kampung itu semakin sering menangis, Salam bingung. Tak hanya oleh tangisan itu, tapi juga dengan kondisi kampung yang tak lagi nyaman oleh oknum-oknum yang berkeliaran menginteli gerak-gerik petani.
Dan Salam semakin bingung saat anak-anaknya bertanya,”Kalau sawit kita digusur, kita mau makan apa, Pak?”
"Jujur, mau menangis rasanya mendengar pertanyaan itu. Bingung saya mau jawab apa. Dalam kondisi kalut, kami datang ke Pekanbaru ini," kata Salam kepada Gatra.com di Pekanbaru, Senin (20/1).
Salam yang mengaku baru bertemu Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) itu, ditemani tiga rekannya. “Mudah-mudahan kami segera dapat solusi yang terbaik,” katanya setengah bergumam.
Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo, Rino Afrino blak-blakan mengecam apa yang sudah dilakukan oleh Dinas LHK Riau yang diboncengi PT NWR tadi. "Kalau tidak ada kepentingan terselubung di balik putusan Mahkamah Agung (MA) itu, tidak akan mungkin main langsung main tebang begitu. Sawit di sana lagi produktifnya. Kenapa itu enggak dibiarkan dulu. Eksekusi bukan berarti harus langsung menebangi, apalagi di putusan MA tidak ada perintah untuk menebangi kelapa sawit lalu diganti dengan akasia. Di putusan itu juga tidak ada disebut pelanggaran di kawasan hutan, yang ada hanya tindak pidana membikin kebun kelapa sawit tanpa Ijin Usaha Perkebunan (IUP)," kata Rino kepada Gatra.com.
Kalaupun IUP di Undang-Undang 39 Tahun 2014 yang dipersoalkan kata auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, itu juga sangat tidak relevan. "Mereka berkebun di sana sudah sejak tahun 1995. Undang-undang enggak bisa berlaku surut dong. Maaf kalau saya bilang, ulah semacam ini akan menjadi preseden buruk bagi program Presiden Jokowi. Saat Presiden lagi gencar-gencarnya menggeber Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), eh DLHK Riau malah menebangi sawit yang sangat produktif," rutuk Rino.
Rino juga sangat menyayangkan MA yang hanya mengolah data di atas kertas tanpa menengok fakta di lapangan seperti apa. "Mestinya ada pertimbangan kemanusiaan, Menebang pohon kelapa sawit itu bukan menyelesaikan masalah, tapi justru menambah masalah. Sebab hajat hidup ribuan masyarakat tempatan sudah dirampas," tegasnya.
Dan Rino juga menyesalkan tidak hadirnya sensitifitas Gubernur Riau, Syamsuar, dalam persoalan itu. "Waktu Pilgubri, Syamsuar menang di sana. Kenapa Syamsuar tidak bersuara? Saya pikir enggak sulit bagi dia untuk memanggil para pihak, duduk semeja," katanya.
Ihwal penebangan pohon kelapa sawit itu bermula dari putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018, Desember 2018 yang menyebut bahwa lahan kebun kelapa sawit milik PT Peputra Supra Jaya (PSJ) seluas 3.323 hektar di Desa Gondai dirampas untuk dikembalikan ke Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR.
Tapi yang kemudian membikin aneh, dalam putusan MA itu, PSJ yang notabene bapak angkat para petani tidak disebut merambah kawasan hutan seperti yang dikatakan oleh Kepala Seksi Penegakan Hukum (Gakkum) DLHK Riau, Agus Puryoko.
"Kalau itu yang menjadi putusannya, tidak ada sanksi bahwa lahan yang dikelola oleh perusahaan disita untuk negara, tapi selesaikan perizinannya, bukan digusur," kata pakar hukum perhutanan, DR. Sadino, kepada Gatra.com.
Yang membikin Sadino menjadi curiga, di lapangan PSJ justru disebut berada di kawasan hutan, lantaran itulah ditertibkan. "Ini kayak ada yang menyetir. By Design. Kalau dikaitkan dengan kawasan hutan, tentu kita bicara lagi aturan-aturan kehutanan. Akan semakin ngawur jadinya nanti," ujar Sadino.
Yang paling membikin celaka, di lapangan ternyata bukan hanya kebun PSJ yang dirampas, tapi juga kebun milik petani tadi. Padahal kebun petani tidak disebut dalam putusan MA itu. Gara-gara inilah Salam dan ratusan petani lainnya, stres. PSJ yang dihukum, petani ikut kena getahnya.
Lebih jauh Sadino menyebut, kalau lahan yang dikelola oleh PSJ dan masyarakat tadi disebut kawasan hutan, kenapa baru belakangan dipersoalkan. "Kenapa enggak dari dulu ditegasi? Enggak mungkin aparat enggak tahu ada yang menanam kelapa sawit di situ," sindirnya.
Kecurigaan Sadino yang lain, direktur PSJ tidak dipidana, hanya didenda. Tapi lahannya disita. "Kalau orangnya tidak dipidana, mestinya persoalan ini dibawa ke perdata. Sebab persoalannya hanyalah sengketa hak," ujarnya.
Sadino kemudian mengulik lagi soal putusan yang ada. Bahwa lahan itu disita untuk dikembalikan kepada Negara melalui Dinas Kehutanan Provinsi Riau Cq. PT Nusa Wana Raya.
"Yang menjadi pertanyaan saya, lahan ini untuk siapa sebenarnya? Masa ada swasta di situ? Mestinya diserahkan ke BUMN atau BUMD lah, bukan ke swasta. Itu kalau kita mengikuti alur eksekusi tadi. Sebab kalau diserahkan kepada BUMD atau BUMN, plasma tetap akan terlindungi. Ingat, masyarakat punya hak konstitusi, lho," katanya.
"Ada kekeliruan judex juris di sana. Itu kan sengketa kepemilikan. Mestinya dibawa ke perdata, bukan pidana. Dan di sana ada kekeliruan yang sangat fatal. Objek sengketa dirampas untuk negara cq PT NWR. NWR subjek hukum swasta. Ini sangat keliru. Sekali lagi saya tegaskan, pencantuman dirampas negara untuk dikembalikan kepada PT NWR, ini adalah perbuatan melawan hukum," tegas praktisi hukum, Samuel Hutasoit, SH, MH.
Akademisi Universitas Riau, M.Mardiansyah S.Hut., M.Sc sepakat dengan Sadino, Rino dan Samuel. Bahwa eksekusi tadi justru sarat dengan kejanggalan. Mulai dari kesan pemaksaan penebangan pohon kelapa sawit, hingga penanaman langsung pohon akasia oleh PT. Nusa Wana Raya (NWR).
"Di putusan itu kan dikatakan bahwa PT Peputra Supra Jaya (PSJ) melakukan tindak pidana membikin kebun tanpa mengantongi Ijin Usaha Perkebunan (IUP). Lalu didenda Rp5 miliar. Kemudian lahan itu disita oleh Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR," kata Mardiansyah kepada Gatra.com.
Cq PT NWR ini kata Mardiansyah sudah menjadi pertanyaan besar. Apakah yang menggugat PSJ ini PT NWR? Kalau iya, kenapa bukan ke PTUN? Sebab sengketa lahan adalah perdata.
Dan kalau kemudian tidak ada yang menggugat dan kasus ini hanya bermula dari laporan Tim Penegakan Hukum (Gakkum), lalu masuk ranah pengadilan, harus dicari tahu lagi, deliknya apa? Apakah gara-gara tak punya IUP atau gara-gara di Kawasan Hutan?
"Kalau tudingannya kawasan hutan, kenapa dalam putusan itu tidak ada disebutkan itu? Dan kalau kasus ini bukan oleh gugatan PT NWR, kenapa harus pakai cq PT NWR? Ini kan semakin aneh," katanya.
Jadi kata Mardiansyah, Dinas LHK Riau jangan terkesan 'main pimpong' di persoalan ini. "Kesan itu sangat kentara. Sebab dalam pemaknaan hukum, disita Negara atau dieksekusi, bukan berarti langsung ditebangi, apalagi yang ditebangi itu kebun kelapa sawit yang sedang produktifnya.
Tapi yang terjadi di lapanga, pohon kelapa sawit itu langsung ditebangi dan ditanam akasia. "Ada apa ini? Dinas LHK harus segera memperjelas, apakah PT NWR yang menggugat PSJ atau seperti apa. Kalau NWR tidak menggugat tapi diberikan ke NWR, ini akan semakin parah akibatnya,” ujarnya.
Kembali ke soal eksekusi tadi kata Mardiansyah, mestinya jika benar PSJ bersalah dan lahannya harus disita, ya kembalikan dulu ke Negara. "Bikin plang besar di sana. Aset ini disita Negara, dilarang masuk. Setelah aset itu kembali, barulah Negara mengatur, mau dikasi ke siapa lahan itu, atau justru akan direstorasi, menjadi hutan kembali. Jangan terkesan DLHK dan PT NWR berlindung di balik putusan itu," tudingnya.
“Saya mengupas ini lebih dalam lantaran ada masyarakat yang menjadi korban di sana, mereka tidak ada dalam putusan itu tapi mereka menjadi stress gara-gara sawitnya ikut menjadi korban. Di mana Negara?" Mardiansyah bertanya.
Dan PT NWR kata Mardiansyah, tidak serta merta bisa memiliki lahan yang dirampas oleh Negara itu, apalagi langsung menanami akasia.
"Menanam akasia itu kan sudah operasional. Negara musti mengecek dulu kelengkapan administrasi PT NWR itu. Sebab itu prosedur. Negara musti mengecek berapa sebenarnya luas lahan PT NWR, sudah ditata batas apa belum. Lalu apakah Rencana Kerja Tahunan (RKT) nya sudah pernah disahkan oleh Negara apa belum. Saya yakin Negara belum mengesahkan RKT nya lantaran lahan ini bermasalah, sebab tidak mungkin Negara mengeluarkan RKT di lahan bermasalah. Nah, semua inikan prosedur. Setelah semuanya lengkap, barulah lahan diserahkan ke PT NWR dan PT NWR barulah mulai melakukan pembersihan," terangnya.