Home Hukum Di Lokasi Eksekusi, Warga Diusir di Depan Ketua PDIP Riau

Di Lokasi Eksekusi, Warga Diusir di Depan Ketua PDIP Riau

Pelalawan, Gatra.com - Ketua DPD PDI Perjuangan, Zukri Misran, 'diusir' dari lokasi eksekusi kebun kelapa sawit di simpang empat Blok 90/95 kawasan perkebunan inti kelapa sawit PT Peputra Supra Jaya (PSJ) di Desa Gondai Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, Minggu (19/1).

Tidak hanya 'mengusir' Wakil Ketua DPRD Riau itu, polisi juga membubarkan konsentrasi 100 an warga yang berbondong-bondong datang ke lokasi eksekusi itu, mengikuti Zukri.

"Bubar semua! Yang tidak berkepentingan dilarang masuk ke sini. Atas nama undang-undang, saya minta keluar dari sini! Lahan ini sudah dieksekusi! Jangan saya mengambil tindakan yang lebih tegas lagi! Pasukan, siaga semua. Tutup pintu masuk ke sini!," teriak Kasat Binmas Polres Pelalawan, AKP Adi Pranoto yang berusaha membubarkan massa pakai pengeras suara.

Mendengar teriakan Adi, warga yang sempat berorasi sambil memampangkan spanduk, sontak bubar. Suasana mulai mencekam saat polisi mengamankan empat orang warga meski setengah jam kemudian dilepaskan.

Warga yang menggelar aksi dan membentangkan spanduk di lokasi eksekusi kebun kelapa sawit di Desa Gondai Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, Minggu (19/1). (GATRA/Aziz/tss)

Wakapolres Pelalawan, Kompol Rezi yang juga ada di lokasi, nampak merangkul Zukri untuk keluar dari lokasi itu. Tidak jelas apa yang disampaikan oleh Rezi kepada Zukri. Namun sesaat kemudian, Zukri sudah naik ke mobilnya dan langsung pergi dari lokasi itu. 

Hanya hitungan menit, ratusan polisi yang tadinya bersantai di bawa pohon kelapa sawit, langsung bersiaga. Anggota Dalmas pun sudah bersiaga di jalan bagian timur lengkap dengan tameng dan pentungan. Ada juga sejumlah polisi yang menenteng senapan gas air mata.

Sebelum ke lokasi itu, Zukri sempat berkumpul dengan warga di tenda yang sengaja dipasang di simpang empat, sekitar tiga kilometer dari lokasi kejadian.

Kepada para anggota Koperasi Gondai Bersatu itu, DPRD Riau kata Zukri akan memanggil Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau (DLHK) terkait aksi eksekusi dan penebangan kelapa sawit tadi.

"Kalaupun dieksekusi, bukan berarti harus ditebangi. Banyak proses yang masih harus dilewati. Bisa saja lahan itu diamankan dulu, atau dikelola oleh BUMN atau BUMD. Kepada warga, saya berharap jangan terlalu terbawa suasana takut, kami akan memperjuangkan nasib bapak ibu," katanya.

Data yang dirangkum Gatra.com, sejak aksi penebangan hingga sekarang, sudah sekitar 300 hektar kebun kelapa sawit yang ditebangi dan langsung ditanam bibit akasia.

Masni, salah seorang warga hanya bisa menangis menengok sawit yang sudah tumbang itu. "Tak lama lagi giliran kebun kami yang akan ditebangi. Mau makan apa lagi kami nanti. Kebun kami cuma dua hektar, itulah yang kami andalkan untuk menyambung hidup," isak perempuan asli Desa Pangkalan Gondai itu.

Ihwal penebangan pohon kelapa sawit oleh Dinas LHK Provinsi Riau tadi bermula dari putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018, Desember 2018 yang menyebutkan bahwa lahan kebun kelapa sawit seluas 3.323 hektar di Desa Gondai itu dirampas untuk dikembalikan ke Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR.

Adapun rincian luasan lahan tadi, milik petani sekitar 1.280 hektar, sisanya milik bapak angkat.

Tapi yang kemudian membikin aneh, dalam putusan MA itu, PT Peputra Supra Jaya (PSJ) tidak disebut merambah kawasan hutan seperti yang dikatakan oleh Kepala Seksi Penegakan Hukum (Gakkum) DLHK Riau, Agus Puryoko.

PSJ hanya disebut melakukan tindak pidana budi daya tanaman perkebunan dengan skala tertentu yang tidak memiliki Ijin Usaha Perkebunan (IUP). Lantaran itulah kemudian di poin kedua, perusahaan ini didenda Rp5 miliar.

"Kalau itu yang menjadi putusannya, tidak ada sanksi bahwa lahan yang dikelola oleh perusahaan itu disita untuk negara, tapi selesaikan perizinannya, bukan digusur," kata pakar hukum perhutanan, DR.Sadino kepada Gatra.com.

Yang membikin Sadino menjadi curiga, di lapangan PSJ justru disebut berada di kawasan hutan, lantaran itulah ditertibkan. "Ini kayak ada yang menyetir. By Design. Kalau dikaitkan dengan kawasan hutan, tentu kita bicara lagi aturan-aturan kehutanan. Akan semakin ngawur jadinya nanti," ujar Sadino.

Sebab, kalau lahan yang dikelola oleh PSJ dan masyarakat tadi disebut kawasan hutan, kenapa baru belakangan dipersoalkan. "Kenapa enggak dari dulu ditegasi? Enggak mungkin aparat enggak tahu ada yang menanam kelapa sawit di situ," sindirnya.

Kecurigaan Sadino yang lain, direktur PSJ tidak dipidana, hanya didenda. Tapi lahannya disita. "Kalau orangnya tidak dipidana, mestinya persoalan ini dibawa ke perdata. Sebab persoalannya hanyalah sengketa hak," ujarnya.

Sadino kemudian mengulik lagi soal putusan yang ada. Bahwa lahan itu disita untuk dikembalikan kepada Negara melalui Dinas Kehutanan Provinsi Riau Cq. PT Nusa Wana Raya.

"Yang menjadi pertanyaan saya, lahan ini untuk siapa sih sebenarnya? Masa ada swasta di situ? Mestinya diserahkan saja ke BUMN atau BUMD, bukan ke swasta. Itu kalau kita mengikuti alur eksekusi tadi. Sebab kalau diserahkan kepada BUMD atau BUMN, plasma tetap akan terlindungi. Ingat, masyarakat punya hak konstitusi, lho," katanya.

Pakar hukum lainnya, Samuel Hutasoit, M.H.,C.L.A menyebut kalau persoalan antara PSJ dan NWR adalah persoalan perdata.

"Ada kekeliruan judex juris di sana. Itu kan sengketa kepemilikan. Mestinya dibawa ke perdata, bukan pidana. Dan di sana ada kekeliruan yang sangat fatal. Objek sengketa dirampas untuk negara cq PT NWR. Sementara NWR adalah subjek hukum swasta. Ini sangat keliru. Sekali lagi saya tegaskan, pencantuman dirampas negara untuk dikembalikan kepada PT NWR, ini adalah perbuatan melawan hukum," tegas Samuel.

Bagi akademisi Universitas Riau, Mardiansyah S.Hut., MSc, eksekusi tadi justru sarat dengan kejanggalan. Mulai dari kesan pemaksaan penebangan pohon kelapa sawit, hingga penanaman langsung pohon akasia oleh PT. Nusa Wana Raya (NWR).

"Di putusan itu kan dikatakan bahwa PT Peputra Supra Jaya (PSJ) melakukan tindak pidana membikin kebun tanpa mengantongi Ijin Usaha Perkebunan (IUP). Lalu didenda Rp5 miliar. Kemudian lahan itu disita oleh Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR," kata Mardiansyah S.Hut., MSc kepada Gatra.com.

'Cq PT NWR ini kata Mardiansyah sudah menjadi pertanyaan besar. Apakah yang menggugat PSJ ini PT NWR? Kalau iya, kenapa bukan ke PTUN? Sebab sengketa lahan adalah perdata.

Dan kalau kemudian tidak ada yang menggugat dan kasus ini hanya bermula dari laporan Tim Penegakan Hukum (Gakkum), lalu masuk ranah pengadilan, harus dicari tahu lagi, deliknya apa? Apakah gara-gara tak punya IUP atau gara-gara di Kawasan Hutan?

"Kalau tudingannya kawasan hutan, kenapa dalam putusan itu tidak ada disebutkan itu? Dan kalau kasus ini bukan oleh gugatan PT NWR, kenapa harus pakai cq PT NWR? Ini kan semakin aneh," katanya.

Jadi kata Mardiansyah, Dinas LHK Riau jangan terkesan ada 'main' di persoalan ini. "Kesan itu sangat kentara. Sebab dalam pemaknaan hukum, disita Negara atau dieksekusi, bukan berarti langsung ditebangi, apalagi yang ditebangi itu kebun kelapa sawit yang sedang produktifnya. Bisa saja kan kebun itu diambil alih oleh BUMN atau BUMD, hasilnya bisa untuk Negara," ujarnya.

Tapi yang terjadi justru, pohon kelapa sawit itu langsung ditebangi dan ditanam akasia. "Ada apa ini? Dinas LHK harus segera memperjelas, apakah PT NWR yang menggugat PSJ atau seperti apa. Kalau NWR tidak menggugat tapi diberikan ke NWR, ini akan semakin parah akibatnya. Saya ambil contoh kasus Travel Umroh. Nasabahnya tidak menggugat, tapi dia bermasalah, aset Travel itu tidak diberikan ke nasabah, tapi disita Negara," ujarnya.

Kembali ke soal eksekusi tadi, mestinya jika benar PSJ bersalah dan lahannya harus disita, ya kembalikan dulu ke Negara.

"Bikin plang besar di sana. Aset ini disita Negara, dilarang masuk. Setelah aset itu kembali, barulah Negara mengatur, mau dikasi ke siapa lahan itu, atau justru akan direstorasi, menjadi hutan kembali. Jangan terkesan DLHK dan PT NWR berlindung di balik putusan itu," tudingnya.

Lalu jika benar NWR menggugat, tidak serta merta perusahaan mengeluarkan masyarakat dari situ. Bisa saja masyarakat dijadikan mitra tanpa harus terusir. "Sebab masyarakat yang lebih dulu mendiami kawasan itu daripada izin-izin perusahaan. Saya mengupas ini lebih dalam lantaran ada masyarakat yang menjadi korban di sana. Lebih dari 1000 hektar kebun masyarakat juga dirampas," tegas Mardiansyah.

Dan PT NWR kata Mardiansyah, tidak serta merta bisa memiliki lahan yang dirampas oleh Negara itu, apalagi langsung menanami akasia. "Menanam akasia itu kan sudah operasional. Negara musti mengecek dulu kelengkapan administrasi PT NWR itu. Sebab itu prosedur.

"Negara musti mengecek berapa sebenarnya luas lahan PT NWR, sudah ditata batas apa belum. Lalu apakah Rencana Kerja Tahunan (RKT) nya sudah pernah disahkan oleh Negara apa belum. Saya yakin Negara belum mengesahkan RKT nya lantaran lahan ini bermasalah, sebab tidak mungkin Negara mengeluarkan RKT di lahan bermasalah. Nah, semua inikan prosedur. Setelah semuanya lengkap, barulah lahan diserahkan ke PT NWR dan PT NWR barulah mulai melakukan pembersihan," terangnya.

Sekali lagi kata Mardiansyah, eksekusi bukan berarti penebangan. "Ada nggak di putusan itu perintah pembersihan lahan? Kalau enggak ada, kok mau Negara yang membersihkan lahan itu lalu ditanami akasia oleh perusahaan? Swear, ini aneh bin ajaib!" rutuknya.


Abdul Aziz

5967