Home Milenial Pemberdayaan Orang Rimba Masih Terkendala Birokrasi

Pemberdayaan Orang Rimba Masih Terkendala Birokrasi

Jambi,Gatra.com - Pemberdayaan dan pemuliaan Suku Anak Dalam (SAD) atau orang rimba di Jambi membutuhkan sinergitas antarlembaga yang solid. Sebab penanganan warga asli Jambi ini tidak melulu menjadi tanggung jawab satu instansi atau lembaga.

 

Hal ini mencuat dalam diskusi santai yang digelar Tim Resolusi Konflik PT Lestari Asri Jaya (LAJ) dan PT Wanamukti Wisesa (WMW) digelar di Kafe Fellas Jambi pada Jumat (17/1). Dalam diskusi bertajuk, bincang pagi, “Potret Orang Rimba dalam Proses Transisi: Strategi Penguatan dan Pemberdayaan” ini juga sekaligus rapat koordinasi para stakeholder terkait orang rimba.

 

Diskusi dan rapat koordinasi juga menghadirkan berbagai pihak. Mulai dari unsur pemerintah, perusahaan, LSM, maupun perguruan tinggi. Hadir sebagai narasumber, antropolog Universitas Diponegoro, Adi Prasetijo, KKI WARSI Robert Aritonang, Public Affairs GM PT Royal Lestari Utama (RLU) Arifadi Budiarjo, serta Azhari dari Disdukcapil Provinsi Jambi.

 

Kabid Komunitas Adat Terpencil Dinsosdukcapil Provinsi Jambi, Azhari mengatakan bahwa koordinasi pemberdayaan masih terkendala birokrasi. "Bahkan untuk pemberian bantuan sosial pun kami harus menggandeng instansi lain seperti dinkes, disdik, hingga kemenag atau KUA. Belum lagi di tingkat koordinasi, kami yang hanya kabid diharuskan berkoordinasi dengan tim di kabupaten yang diketuai sekda di pemkab. Tentu ini menjadi kesulitan tersendiri," katanya.

 

Azhari menjelaskan, namun pihaknya tetap menjalankan program pemberdayaan orang rimba sesuai dengan tupoksinya. "Termasuk penerbitan KTP-el yang sudah kami lakukan bersama PT LAJ akhir tahun 2019," katanya.

 

Ia pun menyambut baik inisiatif PT LAJ dan PT WanaMukti Wisesa yang membantu pembuatan KTP- el untuk orang rimba yang berada di wilayah konsesi lahan produksinya.

 

Sementara itu, antropolog Undip, Adi Prasetijo mengungkapkan bahwa yang paling dibutuhkan orang rimba adalah sumber daya hutan. "Memang banyak ditemui saat ini orang rimba yang sudah hidup berkecukupan. Namun tradisi melangun masih tetap dilakukan," katanya.

 

Dilanjutkannya memang orang rimba sekarang memvariasikan melangunnya--berpindah-pindah tempat. Kalau dulu mereka bisa berbulan-bulan melangun, kini hanya dilakukan beberapa hari saja.

 

"Bahkan ada orang rimba yang sudah punya rumah mewah tapi tetap mendirikan tenda di belakang rumah untuk keseharian mereka," jelasnya.

 

Sementara itu, Public Affairs PT Royal Lestari Utama ( RLU), Arifadi Budiarjo, mengatakan bahwa pihaknya sudah lama perhatian dengan SAD alias orang rimba. "Ada lima kelompok orang rimba yang berada di wilayah konsesi kami. Mereka dari kelompok Tumenggung Hasan, Tumenggung Bujang Kabut, dan kelompok Buyung," katanya.

 

Menurutnya selama ini PT RLU juga senantiasa menggandeng orang rimba di wilayahnya untu dibina. "Selain membantu menerbitkan KTP-el, kami juga rutin memeriksa kesehatan mereka. Termasuk pembinaan budi daya," ujar Arifadi.

 

Memang, lanjutnya, masih ditèmui kendalà dalam pelaksanaannya. Namun pihaknya terus memberikan program itu. "Ini semua kami lakukan untuk mengikis kerentanan warga SAD. Sebab kita tahu bahwa mereka saat ini masuk di masa transisi. Dari masa murni nomaden dan kini mereka mau tak mau harus berhadapan dengan peradaban atau kelompok lain," bebernya.

 

Tak kalah penting adalah bekal dan persiapan mereka harus juga diberikan. Seperti identitas resmi. Ini penting agar mereka juga bisa mengakses fasilitas yang disiapkan pemerintah.

 

"Maka dari itu kami mengajak para stakeholder untuk bisa bersama-sama mempersiapkan orang rimba agar bisa mendapat ases kesehatan, pendidikan dan sebagainya," katanya.

 

Sinergi dan kolaborasi yang baik dengan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan perusahaan merupakan salah satu solusi yang sangat dibutuhkan dalam penanganan pemberdayaan SAD atau orang rimba.

 

Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan kawasan Hutan Tanaman Industri secara lestari adalah laju perambahan yang masif dan menciptakan potensi konflik yang kompleks. Hal ini berdampak pada kondisi orang rimba berada dalam kondisi rentan.

 

Selaku pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, Royal Lestari Utama (RLU) sebagai induk dari PT Lestari Asri Jaya (LAJ) dan PT Wanamukti Wisesa (WMW) sudah merespons situasi itu dengan berpedoman pada Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.5/PHPL/UHP/PHPL.1/2/2016 tentang Pedoman Pemetaan Potensi dan Resolusi Konflik yang salah satu rekomendasinya adalah pembentukan tim resolusi konflik yang bersifat multipihak.

 

Berdasarkan rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2018 dibentuklah Tim Resolusi Konflik (TRK) LAJ dan WMW oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.

 

Kelompok kerja (Pokja) Suku Anak Dalam, sebagai bagian dari TRK, berkolaborasi dengan perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya mengembangkan berbagai upaya pemberdayaan seperti seperti pelayanan kesehatan rutin, program pendidikan, pemberian bantuan pangan, pembuatan KTP-el dan melakukan rintisan program pertanian untuk ketahanan pangan mereka yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

 

Selain itu program-program tersebut dimaksudkan untuk mendampingi SAD yang saat ini dalam proses transisi dari pola hidup yang bergantung pada hutan agar bisa memiliki pola penghidupan yang berkelanjutan.

296