Jakarta, Gatra.com – Dolittle, film garapan Sutradara Stephen Gaghan ini, tayang di Indonesia mulai Rabu (15/1), lebih awal daripada di AS yang baru diputar 17 Januari. Film yang didistribusi oleh Universal Pictures ini menjadi proyek film pertama Robert Downey Jr. setelah mengakhiri perannya sebagai Tony Stark (Iron Man) di Marvel Cinematic Universe (MCU). Ada isu pengembangan diri yang diangkat dalam film ini.
Berlatar Inggris di era Victoria, Dolittle mengisahkan tentang sesosok dokter yang bisa berkomunikasi dengan hewan, Dr. John Dolittle (Robert Downey Jr.). Sebelumnya, hidupnya bahagia. Selain membuka klinik baik bagi manusia maupun hewan, ia pun senang berpetualang bersama sang istri, Lily (Kasia Smutniak).
Kehidupan Dolittle berubah setelah istrinya wafat dalam petualangannya mencari pohon mistis yang konon bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Dirundung kesedihan, Dolittle jadi enggan bergaul dengan manusia. Ia mengisolasi diri di kediamannya bersama sejumlah hewan.
Kejadian tak terduga memaksa Dolittle keluar dari zona nyaman. Ia harus meneruskan petualangan sang mendiang istri mencari pohon mistis untuk menyembuhkan penyakit Ratu Victoria (Jessie Buckley). Ditemani Tommy Stubbins (Harry Collett), bocah laki-laki yang mendeklarasikan diri sebagai muridnya, beserta sejumlah kawan hewan, dokter eksentrik ini memulai perjalanannya.
Meski tak terlihat, film ini sebenarnya bertabur bintang. Banyak aktris dan aktor ternama yang mengisi suara para hewan. Tak sedikit dari mereka merupakan pemenang piala Oscar, seperti Emma Thompson yang menjadi Polynesia, burung beo penasihat utama Dolitte. Lalu ada Rami Malek (Chee-Chee, gorila), Octavia Spencer (Dab-Dab, bebek), dan Marion Cotillard (Tutu, rubah).
Nama-nama populer lainnya, seperti John Cena (Yoshi, beruang kutub), Tom Holland (Jip, anjing), Kumail Nanjiani (Plimpton, burung unta), Craig Robinson (Kevin, tupai), dan Selena Gomez (Betsy, jerapah), juga menjadi pengisi suara. Bintang lain yang turut beradu akting dengan Downey, ada Michael Sheen, Jim Broadbent, dan Antonio Banderas.
Sebelumnya, karakter Dolittle sudah pernah diangkat menjadi film pada 1998, dengan Eddie Murphy sebagai peran utama. Dolittle versi 1998 dan 2020 jelas berbeda. Jika Dr. Dolittle (1998) hanya menjadikan dongeng-dongeng Lofting sebagai inspirasi lalu mengganti latar waktu dengan zaman modern, Dolittle (2020) benar-benar mengangkat karya Lofting ke layar lebar. Dari sekian banyak buku seri Doctor Dolittle yang ditulis oleh pria Inggris, Hugh John Lofting tersebut, film ini khusus diangkat dari The Voyages of Doctor Dolittle (1922).
Perbedaan lainnya, yakni terkait kemampuan komunikasi Dolittle dengan hewan. Pada film versi 1998, kemampuan tersebut dianggap sebagai berkah yang tiba-tiba muncul di diri Dolittle. Di versi 2020, kemampuan berkomunikasi dengan hewan bisa dipelajari. Setiap jenis hewan memiliki bahasanya sendiri, yang bisa dimengerti dari ritme suara mereka. Stubbins pun mulai memahami apa yang dikatakan Dab-Dab atau Chee-Chee dengan mempelajari ritme tersebut.
Untuk ukuran film komedi keluarga, Dolittle digarap sangat serius. Selain menghabiskan sekitar US$175 juta untuk biaya produksi, para pelaku film ternama juga turut serta di balik layar.
Ada Guillermo Navarro, yang menjadi sinematografer film ini. Sebelumnya, ia pernah mendapat piala Oscar kategori Best Cinematography untuk film Pan’s Labyrinth (2006). Ada pula komposer Danny Elfman, yang pernah terlibat dalam produksi Avengers: Age of Ultron (2015) bersama Downey.
Downey sendiri menjadi salah satu produser eksekutif di Dolittle. Perusahaan produksi miliknya, Team Downey, bekerja sama dengan Roth/Kirschenbaum Films untuk memproduksi film ini.
Dengan nama-nama besar yang terlibat dalam produksi ini, baik di layar maupun di baliknya, sayangnya film ini kurang kuat dari segi pengembangan cerita. Alasan Dolittle untuk menutup komunikasi dengan manusia lain terlalu lemah. Kematian istrinya tidak ada kaitannya dengan faktor kejahatan manusia, sehingga efek dari trauma yang dialami Dolittle terasa terlalu dipaksakan.
Tadinya film ini dijadwalkan rilis pada Mei 2019. Tapi dimajukan ke April untuk menghindari persaingan dengan Star Wars: The Rise of Skywalker. Belakangan, malah mundur jauh ke Januari 2020. Fakta ini cukup mengkhawatirkan karena di Hollywood, Januari adalah bulan di mana studio merilis film-film yang dirasa akan gagal di pasaran.
Di luar itu, film ini cukup menghibur dan nyaman untuk dinikmati semua umur. Dengan humor-humor sopan yang bisa dicerna semua kalangan, tetapi tak membuatnya menjadi kering, film ini cocok sebagai hiburan keluarga di akhir pekan.
Apalagi, film ini juga mengangkat topik mengenai pengembangan diri dan kesehatan mental. Misalnya, Chee-Chee yang berjuang melawan rasa takutnya, atau Yoshi dan Plimpton yang berusaha mengatasi ketidakakuran, termasuk Dolittle yang perlahan membuka dirinya pada dunia luar. Polynesia sendiri menjadi sosok bijak yang kadang menjadi pemimpin bayangan di grup Dolittle.
Di sisi lain, karakter antagonis Dr Blair Mudfly yang diperankan oleh Sheen, menunjukkan bahwa kecemburuan berlebihan bisa sangat menjerumuskan. Nilai-nilai yang ditampilkan dalam film ini, dapat menjadi aspek edukatif bagi anak-anak dari segi moral dan sosial.
Reporter: Rhea Febriani Tritami
Editor: Flora L.Y. Barus