Pekanbaru, Gatra.com - Lahan kebun kelapa sawit seluas 3.323 hektar milik PT. Peputra Supra Jaya di Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan gagal dieksekusi oleh jaksa dan pengadilan dua hari lalu.
Ratusan masyarakat menghalangi tim mengeksekusi hasil putusan Mahkamah Agung menjadi pangkal masalahnya. Kondisi inilah yang kemudian disebut oleh pegiat lingkungan di Riau, Tommy Freddy Simanungkalit menjadi preseden buruk terhadap penegakan hukum bidang lingkungan hidup di Riau.
Gagalnya eksekusi itu kata Tommy tidak selaras dengan semangat pemerintah Provinsi Riau memberangus kebun ilegal. "Putusan MA sudah inkrah dan sudah seharusnya dilakukan eksekusi. Tapi sampai sekarang itu belum juga terlaksana," katanya kepada Gatra.com, Rabu (15/1).
Mestinya kata Tommy, pemerintah yang punya perangkat TNI dan Polri bisa dengan mudah melakukan eksekusi, biar menjadi contoh tentang penertiban lahan perkebunan ilegal di Riau.
Jadi kata Tommy, putusan MA musti segera dilaksanakan. "Kalau ada yang menghalangi tentu ada sanksi hukuman soal itu," tegasnya.
Tommy mengaku terus memantau jalannya proses persidangan terkait kebun Peputra tadi. Ada satu nama yang muncul sejak sidang digelar; Sudiono. Tapi hingga putusan eksekusi keluar, status hukum Sudiono tidak jelas. "Apakah dia sudah ditahan atau diberikan denda atau apa kita tidak tahu," katanya.
Sebelumnya, ratusan masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Mitra Binaan PT PSJ menghalangi tim eksekusi.
Mereka malah sudah melakukan aksi penolakan eksekusi itu sehari sebelum tim datang. Mereka memasang spanduk penolakan eksekusi dan menginap di lokasi lahan yang akan dieksekusi itu.
Eksekusi lahan tadi dilakukan oleh tim gabungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, Polres Pelalawan, dan instansi terkait.
Dengan alasan untuk menghindari terjadinya keributan antara petugas dan masyarakat di lokasi, muncul rencana untuk mediasi pada Jumat (17/1) mendatang di Mapolres Pelalawan.
Ahli hukum pidana Dr. Muhammad Nurul Huda, SH. MH mengatakan, seharusnya aksi penolakan eksekusi tidak terjadi lantaran eksekusi itu adalah hal yang harus dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Eksekusi lahan ilegal milik PT PSJ itu kata Nurul berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018 atas gugatan PT Nusa Wana Raya (NWR). NWR sendiri adalah mitra pemasok bahan serat PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Pelalawan.
"Kan sudah jelas putusannya itu hal yang legal kenapa masyarakat mengintervensi putusan itu. Mestinya negara jangan kalah dengan orang-orang yang tidak taat pada putusan pengadilan. PSJ sendiri mestinya mengedukasi masyarakat yang berkonflik untuk menyelesaikan persoalan itu secara hukum, bukan malah memancing masyarakat untuk terlibat dalam keributan yang seharusnya tidak perlu terjadi," katanya.
Nurul kemudian mengingatkan, ada ancaman pidana bagi pihak-pihak yang menghalangi eksekusi putusan pengadilan, "Itu bisa dipenjara satu tahun atau empat bulan," kata Dosen Pascasarjana Universitas Islam Riau (UIR) ini.
Terlepas dari semua uraian tadi, ada fakta menarik yang disodorkan oleh pakar hukum perhutanan, DR. Sadino. Saat berbincang dengan Gatra.com, Rabu (15/1), Sadino menyebut bahwa dakwaan terhadap PSJ adalah perkebunan tanpa Izin Usaha Perkebunan (IUP).
"Kalau ini yang menjadi dakwaannya, tidak ada sanksi bahwa lahan yang dikelola oleh perusahaan itu disita untuk negara, tapi selesaikan perizinannya, bukan digusur," katanya.
Dalam perjalanannya kata Sadino, lahan yang dikelola oleh PSJ tadi adalah lahan yang diserahkan oleh Ninik Mamak. "Kenapa yang menyerahkan lahan ini tidak dimunculkan?" Sadino bertanya.
Yang membikin Sadino menjadi curiga, saat putusan, persoalan kemudian dikait-kaitkan dengan kawasan hutan. "Ini kayak ada yang menyetir. By Design. Kalau dikaitkan dengan kawasan hutan, tentu kita bicara lagi aturan-aturan kehutanan. Akan semakin ngawur jadinya," katanya.
Sebab kata Sadino, kalau lahan yang dikelola oleh PSJ dan masyarakat tadi disebut kawasan hutan, kenapa baru belakangan dipersoalkan. "Kenapa enggak dari dulu ditegasi? Enggak mungkin aparat enggak tahu ada yang menanam kelapa sawit di situ," sindirnya.
Kecurigaan Sadino yang lain, direktur PSJ tidak dipidana, hanya didenda. Tapi lahannya disita. "Kalau orangnya tidak dipidana, mestinya persoalan ini dibawa ke perdata. Sebab persoalannya hanyalah sengketa hak," katanya.
Sadino kemudian mengulik lagi soal putusan yang ada. Bahwa lahan itu disita untuk dikembalikan kepada Negara melalui Dinas Kehutanan Provinsi Riau Cq. PT Nusa Wana Raya.
"Yang menjadi pertanyaan saya, lahan ini untuk siapa sih sebenarnya? Masa ada swasta di situ? Mestinya diserahkan saja ke BUMN atau BUMD, bukan ke swasta. Itu kalau kita mengikuti alur eksekusi tadi. Sebab kalau diserahkan kepada BUMD atau BUMN, plasma tetap akan terlindungi. Ingat, masyarakat punya hak konstitusi, lho," katanya.