Carlos Ghosn menepati janjinya. Mantan CEO Nissan-Renault yang jadi buronan itu, bicara blak-blakan tentang kasusnya. Jepang mengaku punya bukti kuat.
Berapa ongkos sebuah kebebasan? Bagi Carlos Ghosn, sekurangnya US$30 juta atau sekitar Rp413 miliar. Konon, angka itu yang dikeluarkan mantan CEO Nissan Renault tersebut untuk kabur dari Jepang. Konon lagi, ia bersembunyi dalam kotak hitam untuk mengelabui pihak keamanan Jepang.
CNN yang mengonfirmasi soal kotak hitam itu kepada Ghosn, tidak mendapat jawaban pasti. Awalnya Ghosn menolak berkomentar, sebelum melanjutkan, “Kebebasan, tidak peduli bagaimana itu terjadi, selalu manis,” katanya sambil terkekeh.
Wawancara dengan CNN Business itu berlangsung setelah temu pers pertamanya sebagai buronan Jepang, Rabu pekan lalu. Dalam pertemuan dengan 120 wakil media di Lebanese Press Syndicate, lelaki keturunan Lebanon ini mengungkapkan alasannya memilih kabur. “Saya tidak lari dari hukum, saya lari dari ketidakadilan. Saya mencari keadilan,” ucapnya.
Sejak ditangkap di Bandara Haneda, Jepang, pada November 2018, Ghosn diisolasi dari media dan keluarga. Padahal, ia pulang ke Jepang untuk membersihkan diri dari tuduhan penyelewangan uang perusahaan. Ghosn dituding tidak jujur dalam melaporkan penghasilannya dan merekayasa agar kerugian perusahaan investasi pribadinnya ditanggung Nissan. Ia juga dituding mengizinkan penyaluran dana US$ 5 juta ke perusahaan yang dikelola istrinya, Carole.
Setelah 108 hari merasakan dinginnya sel, pada April 2019 Pengadilan Tokyo memutuskan tahanan rumah dengan jaminan Ĩ1 miliar atau sekitar Rp126 miliar. Ini rekor jaminan termahal sepanjang sejarah Jepang.
Pengadilan juga memerintahkan tiga paspor Ghosn ditahan, yaitu paspor Prancis, Brazil, dan Lebanon. Ia harus mendapat izin untuk menghubungi istri dan keluarganya. Ghosn juga tidak boleh menggunakan internet.
“Saya direnggut dari dunia yang saya kenal,” kata alumni École Polytechnique Prancis itu di depan media. “Saya dipisahkan dari keluarga, teman-teman, komunitas, dan dari Renault, Nissan, dan Mitsubishi,” katanya lagi. Nissan membeli saham Mitsubishi pada Mei 2016.
***
Selama dua jam 30 menit, Ghosn berbicara tentang kasusnya, buruknya sistem hukum Jepang, dan kolaborasi pemerintah Jepang serta eksekutif Nissan untuk menjatuhkannya sekaligus mencegah rencananya menggabungkan Nissan, Renault, dan Mitsubishi. Ia menjawab pertanyaan wartawan dengan bahasa Inggris, disambung bahasa Prancis, diselingi Arab, dan tiba-tiba meloncat bertutur Spanyol.
Ghosn menjelaskan, ia ingin membentuk perusahan holding yang mengonsolidasikan saham ketiga perusahaan. Nissan, Renault, dan Mitsubishi tidak merger, tetap beroperasi secara mandiri. Namun eksekutif Nissan merasa langkah itu justru membuat pengaruh Renault makin besar dalam kemitraan.
“Sayangnya tidak ada rasa percaya, dan beberapa teman Jepang kami berpikir bahwa satu-satunya cara untuk menyingkirkan pengaruh Renault di Nissan, yaitu dengan menyingkirkan saya,” kata Ghosn.
Tanpa ditutup-tutupi, Ghosn menuding mantan CEO Nissan, Hiroto Saikawa, Hitoshi Kawaguchi, dan Masakazu Toyoda, terlibat dalam persekongkolan. Saikawa kehilangan jabatan CEO Nissan karena skandal kompensasinya yang berlebihan, beberapa bulan setelah menyingkirkan Ghosn.
Jaksa Tokyo membantah bahwa mereka bersekongkol dengan Nissan untuk menuntut Ghosn. Nissan dan Renault menolak berkomentar. Sebelumnya, Nissan mengatakan masih akan mengejar “tindakan hukum yang sesuai” terhadap Ghosn.
Di depan media, Ghosn blak-blakan bicara. “Saya di sini untuk mengekspos sistem peradilan yang melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan,” ucapnya. “Tuduhan ini tidak benar dan saya seharusnya tidak pernah ditangkap.”
Ayah empat anak itu mengatakan, ia bersedia diadili, “Di negara mana pun yang saya percaya bisa mendapat persidangan yang adil.” Jelas bukan Jepang. Ghosn mengatakan, ia dianggap bersalah tanpa bisa membersihkan namanya.
Dari Beirut, Ghosn menelanjangi sistem hukum Jepang. Pemegang paspor Prancis itu menceritakan soal jaksa yang bisa menginterogasi tersangka berulang kali tanpa didampingi pengacara, proses pengadilan yang lamban, dan perilaku jaksa yang berusaha mengorek informasi memberatkan, bukan untuk menentukan kebenaran.
“Saya merasa menjadi sandera di sebuah negara yang telah saya layani selama 17 tahun,” kata Ghosn, berdasarkan laporan Bloomberg.
***
Menanggapi pernyataan Ghosn, Kantor Jaksa Tokyo merilis pernyataan bahwa Ghosn patut disalahkan atas penangkapan dan penahanannya. Jaksa juga menyebut ada cukup bukti untuk memastikan kesalahan Ghosn.
Kamis pagi pekan lalu, Menteri Kehakiman Jepang, Masako Mori, mengatakan kepada media bahwa Ghosn sengaja menyebarkan berita tidak benar di Jepang dan dunia internasional tentang sistem hukum Jepang. “Itu benar-benar tidak dapat ditoleransi,” katanya.
Menurut menteri wanita berusia 61 tahun ini, Ghosn seharusnya membuktikan di pengadilan bahwa ia tidak bersalah atas tuduhannya. Kabur dari pengadilan pidana, katanya, sebuah tidakan yang tidak bisa diterima di negara mana pun.
Kepada NHK, Mori mengatakan sangat berharap Ghosn bisa menerima peradilan yang adil dari sistem hukum pidana Jepang. “Ia memiliki kesempatan berbicara bebas untuk waktu yang lama [pada saat konferensi pers] dan ia tidak memberikan penjelasan khusus mengenai kasusnya,” sindir seorang jaksa senior, seperti dilaporkan laman Japan Today.
Mori juga mengungkapkan, dalam proses persiapan sidang di Pengadilan Distrik Tokyo, Jaksa sudah menyiapkan hingga 1.000 lembar dokumen bukti. Jaksa menduga, Ghosn kabur karena bukti-bukti itu tidak dapat dibantah. Jaksa lain yang menangani kasus itu, mempertanyakan mengapa Ghosn memilih Lebanon sebagai tujuannya jika ingin mendapat peradilan yang adil.
“Jika dia tidak bersalah dan menganggap negara-negara selain Jepang lebih adil, mengapa dia tidak pergi ke Amerika Serikat atau Prancis?” tanyanya yang mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap sistem peradilan Lebanon.
Jepang tidak tinggal diam. Selasa pekan lalu, Jaksa Tokyo merilis surat perintah penangkapan untuk Ghosn atas dugaan memberikan kesaksian palsu. Otoritas Jepang juga sudah meminta Interpol menerbitkan Red Notice untuk menangkap Ghosn.
Sejauh ini, Jepang dan Lebanon belum memiliki perjanjian ekstradisi. Menanggapi Red Notice itu, Jaksa Beirut menerbitkan larangan bepergian bagi Ghosn, seperti dilaporkan The Guardian.