Gelaran Borobudur Marathon 2019 mendorong meluasnya keterlibatan masyarakat. Berdampak pada perekonomian warga. Perlu ada torehan prestasi kelas dunia.
Rute berjarak 42 kilometer yang melintas 19 desa di Kabupaten Magelang itu menjadi salah satu rute dari tiga kategori di ajang lomba tahunan Borobudur Marathon 2019. Dengan memilih titik start di Taman Lumbini, kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, peserta disuguhi pemandangan aneka bentang alam.
Tahun ini, puncak acara Borobudur Marathon berlangsung pada Minggu pagi, 17 November lalu, mempertandingkan full marathon, half marathon, dan kategori 10 kilometer. Sehari sebelumnya, diselenggarakan pula lari maraton dengan jarak yang lebih pendek dan santai, yakni Friendship Run sejauh tiga kilometer.
Selain rute lari yang menantang dan menakjubkan, peserta dengan total lebih dari 10.000 orang itu juga disuguhkan aneka kuliner khas Jawa Tengah. Tujuan digelarnya wisata kuliner yang ada di Pasar Harmoni, tidak hanya demi memperkenalkan makanan khas Kabupaten Magelang, tetapi juga agar penganan lokal bisa bersaing dengan kuliner lain.
Tentu saja, para pembuat kudapan yang berasal dari usaha kecil dan menengah lokal itu, terlebih dahulu diberikan serangkaian pelatihan oleh koki berpengalaman, bekerja sama dengan panitia penyelenggara. Camilan seperti legondo, ciwel, dan badjingan telo khas Magelang pun tersaji lebih menarik dan nikmat.
Usai kegiatan, masyarakat memberikan respons positif untuk kegiatan itu. Setidaknya tergambar di media sosial. Di Instagram misalnya, per tanggal 19 November lalu ada sebanyak 8445 unggahan warganet lewat tagar #Borobudurmarathon2019.
Ragam foto di rute maraton yang turut menampilkan wajah Kabupaten Magelang bertebaran, mulai dari interaksi dengan warga lokal hingga aktivitas usai melewati garis finis. Tak hanya itu, komentar positif juga muncul. “Asli wow banget... Respect dan terimakasih buat penyelenggaranya...,” tulis pemilik akun @gefianang.
Ajang lomba lari yang juga bagian dari promosi pariwisata Provinsi Jawa Tengah itu, juga diikuti oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Selain berkesempatan melepas peserta lomba lari full marathon, Ganjar juga ikut terlibat di nomor lari 10 kilometer. Keesokan harinya, Ganjar pun menulis di akun Instagramnya, “Lumayan kaki masih njarem.”
***
Borobudur Marathon 2019 menjadi maraton dengan jumlah peserta terbanyak yang pernah digelar di Provinsi Jawa Tengah. Dalam ajang itu, peserta paling banyak di nomor lari half marathon (21 kilometer) yang mencapai 4.106 orang. Pada kategori marathon (42 kilometer) dan 10 kilometer diikuti masing-masing 2.173 dan 4.087 peserta.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jawa Tengah, Sinung Nugroho, mengatakan bahwa keberhasilan Borobudur Marathon 2019 menjaring peserta dalam jumlah besar, terletak pada luasnya cakupan segmen pelari yang diakomodasi dalam rangkaian lomba. Menurutnya, Borobudur Marathon mengakomodasi semua segmen.
“[Pelari] profesional oke, tetapi yang hobbyist juga oke. Komunitas pun oke. Bahkan yang family run melalui Friendship Run itu juga oke,” ujar Sinung.
Semua peserta, kata Sinung, mengambil peran. Inilah yang menjadi daya tarik, kekhasan Borobudur Marathon, dibandingkan penyelenggaraan maraton lainnya. Ia juga menyebut Borobudur Marathon sebagai wujud sport tourism. Menyelenggarakan event olahraga sebagai daya tarik wisata. “Sehingga orang datang selain berolahraga, juga dapat berwisata,” ujarnya.
Sport tourism mendorong agar penyelenggaraan event olahraga memberi dampak kepariwisataan, salah satunya melalui peningkatan jumlah kunjungan. “Yang tidak kalah penting adalah mendorong partisipasi publik. Ada pertunjukan kesenian, ada kuliner, sehingga ada keterikatan antara pelari, masyarakat sekitar, dan event itu sendiri,” kata Sinung.
Tahun ini, Dinas Pariwisata Jawa Tengah melibatkan 25 kelompok kebudayaan dengan menggelar atraksi di sejumlah titik cheering (pemandu sorak). “Kita plotting di sepanjang rute maraton, sehingga pelari merasa nyaman dengan sambutan dari warga,” ucap Manajer Event Borobudur Marathon 2019, Budi Sarwiadi.
Budi mengatakan, tahun ini ada yang namanya Pawone dengan tiga ide pelaksanaan, yaitu mbangun cerito, mbangun wisata, dan mbangun pasar. Lewat mbangun cerito, masyarakat dilibatkan dalam penyelenggaraan Borobudur Marathon. Mereka diberi edukasi, menerima pelajaran bagaimana cara mengelola destinasi wisata.
Mbangun pasar atau membangun pasar, ditujukan untuk memberdayakan masyarakat lewat sinergi Pasar Harmoni. “Dari 19 desa yang dilewati rute maraton, UMKM-nya kita beri kesempatan untuk apply. Kita kurasi, sehingga terpilih 25 pelaku usaha,” kata Budi.
Budi berharap, Borobudur Marathon memberikan dampak sosial ekonomi bagi warga sekitar Borobudur. Pada Borobudur Marathon 2017, perputaran uang yang dibelanjakan pelari sekitar Rp14 miliar. Tahun 2018 naik menjadi Rp24 miliar.
Ganjar mengaku puas dengan penyelenggaraan Borobudur Marathon tahun ini. “Disiplin penyelenggaraannya jauh semakin bagus. Dulu kita mengajak orang untuk lari. Kemudian sudah tidak mengajak, tetapi semua yang mau ikut [harus] antre,” ujarnya.
Setelah tiga kali digelar, Gubernur Jawa Tengah ini melihat masyarakat sudah merasa betul-betul memiliki event Borobudur Marathon. “Kalau masyarakat sudah merasa ini sebagai miliknya, tugas saya sebagai pemerintah untuk memfasilitasi,” ujarnya.
Besarnya antusiasme peserta untuk mengikuti Borobodur Marathon menyebabkan penginapan dan hotel sudah penuh dipesan sejak tiga bulan sebelumnya. Tak hanya penginapan besar yang mendapatkan rezeki, para tamu juga memesan homestay yang dikelola balai ekonomi desa (balkondes) atau rumah warga.
Efek ke ekonomi warga seperti ini memang akan terus dkembangkan. Di sini, peran pemerintah daerah juga dibutuhkan. “Tugas saya mengeksekusi prosedur pendukung. Berikutnya tentu tim kreatif juga pasti sudah menerima masukan. Kita tunggu apa lagi yang akan mereka sajikan tahun depan,” kata Ganjar.
***
Ketua Pengurus Daerah Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) Jawa Tengah, Rumini, menilai secara umum penyelenggaraan Borobudur Marathon sudah baik. Namun ia memberikan sejumlah catatan. Meski gelaran Borobudur Marathon lebih kepada agenda wisata, semestinya tidak mengesampingkan sisi olahraganya.
Keikutsertaan pelari elit dan profesional masih terbilang sangat minim, menurut Rumini. Event maraton lebih banyak diikuti oleh pelari hobi dan komunitas, sehingga capaian prestasi di ajang ini kurang terekspos. “Kalau saya lihat masih kurang untuk atlet. Prestasi juga masih kurang gaungnya untuk pemecahan-pemecahan rekor,” ucapnya.
Tanti Hendriana mungkin salah satu pelari nonprofesional yang dimaksud Rumini. Tanti mengikuti ajang Borobudur Marathon 2019 ini hanya untuk menyalurkan hobi. Ada sejumlah tantangan yang dipaparkan Tanti. “Trek tanjakannya lumayan banyak. Seperti di rute half marathon 21 kilometer itu,” katanya.
Tantangan lainnya, kata Tanti, yaitu cuaca yang saat itu menurutnya sangat panas. Start lari juga dinilai terlalu siang. “Biasanya, untuk half marathon jam lima itu sudah start, ini tadi jam enam. Jadi, kalau sudah terlalu siang, panas itu bikin down,” ujarnya.
Meski demikian, Tanti mengaku terhibur dengan pompaan semangat dari kelompok cheering di sepanjang jalur lari. “Sambutannya bagus. Anak-anak menyambut, ibu-ibu menyambut. Masyarakatnya benar-benar friendly,” katanya.
Arif Sugiono dan Angga Haksoro (Magelang)