Washington DC, Gatra.com - Lion Air Indonesia sempat mempertimbangkan untuk mengirim pilotnya mengikuti pelatihan simulator sebelum menerbangkan Boeing 737 Max. Tetapi, ide ini diurungkan setelah pihak Boeing meyakinkan mereka pada tahun 2017 bahwa itu tidak perlu dilakukan.
Dan dunia akhirnya mengetahui, bahwa pada tahun 2018, 189 orang tewas ketika Lion Air 737 Max jatuh ke Laut Jawa. Bencana ini sebagian disebabkan lantaran tidak adanya pelatihan yang memadai, membuat para kru pesawat tidak terbiasa dengan fitur kontrol penerbangan baru pada pesawat.
Dalam sebuah dokumen yang beredar pada hari Kamis yang ditujukan untuk para anggota parlemen dan FAA setebal 100 halaman, disebutkan bahwa menurut karyawan Boeing, ada sebuah pelanggan Boeing yang meminta diberi pelatihan simulator sebelum menerbangkan 737 Max. Hanya saja, dalam dokumen tersebut tidak disebutkan nama Lion Air. Namun, pada dokumen yang didapatkan Bloomberg dari pihak Kongres yakni Komite Penerbangan dan Infrastruktur, terdapat nama Lion Air.
Dalam dokumen itu, tersebut jelas bahwa beberapa orang dari Boeing mengolok-olok permintaan Lion Air yang menginginkan pelatihan simulasi sebelum para pilotnya menerbangkan 737 Max. "Lion Air sialan ini, ternyata butuh SIM untuk menerbangkan MAX! Saya sampai bingung menggambarkan hal ini. Dasar idiot!," demikian olok-olok staf di Boeing yang tertulis pada Juni 2017.
Tidak cukup sampai disitu, olokan ini bahkan direspon oleh orang Boeing lainnya dengan bahasa makian. "Apa-apaan. Sister company Lion Air (Malindo Air) saja sudah menerbangkan 737 Max kok!"
Padahal, melakukan pelatihan simulator akan mengurangi risiko kecelakaan pesawat. Maskapai penerbangan hanya perlu mengirimkan pilot yang pernah melakukan simulasi pada pesawat seri 737 versi lama untuk diberikan pelatihan singkat mengenai teknologi komputer baru pada Max.
Dalam sebuah laporan tentang kecelakaan 29 Oktober 2018 lalu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Indonesia menyebut kesalahan Boeing adalah tidak memberi tahu pilot tentang fitur kontrol penerbangan baru pada pesawat 737 Max, yang disebut MCAS. Ditekankan juga perlunya memberikan pelatihan tentang hal itu sehingga para pilot akan bisa lebih baik bial terjadi malfungsi pada teknologi baru tersebut.
Laporan itu juga mengutip kekurangan kemampuan awak untuk melakukan daftar periksa darurat, menerbangkan pesawat secara manual dan komunikasi yang buruk saat keadaan darurat. Kopilot, yang membutuhkan waktu hampir empat menit untuk mencari prosedur darurat yang seharusnya dia hafal, ternyata sering mengalami kegagalan saat pelatihan.
Boeing 737 Max akhirnya digrounded seluruh dunia, setelah pesawat Ethiopian Airlines juga jatuh akibat malfungsi MCAS.