Home Internasional Kaum Muda, Masa Depan Media

Kaum Muda, Masa Depan Media

Riset The Economist menyebut remaja hampir di seluruh negara lebih menyukai media sosial ketimbang media konvensional. Ancaman sekaligus peluang bagi media konvensional.


Presiden El Savador, Nayib Bukele, pernah melakukan aksi menarik saat berpidato. Ia memberikan jeda di tengah pidato untuk berswafoto dengan publik sebagai latar belakang gambarnya. “Trust me, akan lebih banyak orang yang melihat selfie ini setelah saya membagikannya ketimbang mereka mendengarkan isi pidato saya,” kata Presiden berusia 38 tahun itu.

Pada kesempatan terpisah di negara berbeda, seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat yang juga merupakan kader Partai Demokrat, Marianne Wiliamson, memberikan jawaban tidak standar ketika ditanya tentang apakah dia melakukan debat dengan baik. “Saya baru tahu dengan pasti ketika melihat ada meme tentang saya,” ujar Marianne.

McGraw Hill Dictionary mendefinisikan media sosial sebagai media yang digunakan individu untuk berinteraksi, berkomunikasi melalui jaringan internet. Kita mengenalnya melalui ragam, mulai dari blog, Facebook, Twitter, Instagram, hingga YouTube.

Media sosial dan berbagai fasilitas publikasi yang dimilikinya lambat laun kian kuat menggantikan media konvensional dalam urusan penyampaian pesan.

The Economist pekan lalu mengulas bagaimana persepsi orang, khususnya generasi muda, berubah akan media. Dalam ulasannya, The Economist mengutip riset PISA(Programme for International Student Assesment) antara tahun 2009 dan 2018 yang menemukan bahwa remaja yang membaca surat kabar turun jumlahnya dari sekitar 60% menjadi 20%.

Riset itu juga mengulas bagaimana hanya setengah dari jumlah anak muda India mengunjungi laman Times of India, situs berbahasa Inggris terbesar di India. Mereka lebih tertarik dengan video dan berita tentang Bollywood.

Di Inggris, remaja kurang familiar dengan berita yang dibuat oleh BBC ketimbang konten buatan YouTube atau Netflix. Dan, dua pertiga remaja di Korea Selatan memperoleh berita secara online. Sekitar 97% remaja di “Negeri Ginseng” itu beralih ke Naver, sebuah portal pencarian domestik, ketimbang mengonsumsi media konvensional.

Di Amerika Serikat, menurut temuan Pew Research Center, 95% remajanya memiliki akses telepon dan 45% di antaranya menggunakan akses itu untuk aktivitas online hampir terus-terusan. Pew juga mencatat bahwa 85% remaja Amerika mulai beralih ke Instagram ketimbang Facebook. Instagram memiliki fitur Instastory di mana pengguna bisa membagikan unggahan yang disukainya dalam waktu relatif singkat.

Postingan tersebut nantinya bisa juga dibagikan oleh akun lain. Hal ini bisa memengaruhi siapa pun yang melihatnya: pengiklan, pemasar, hingga politisi.

Contoh nyata dari kekuatan Instagram adalah berita tentang kebakaran di hutan Amazon, Brasil, beberapa waktu lalu. Siapa pun yang membaca berita mengetahui bahwa kebakaran hutan Amazon yang menyuplai 20% oksigen dunia itu masuk keadaan darurat.

Postingan Instagram National Geographic yang memiliki 126 juta pengikut mengenai kebakaran hutan tersebut lantas mendapat likes yang banyak. Amazon mendapat perhatian dari pengguna jagat maya. “Apa pun yang saya lihat tentang Amazon, saya akan membagikannya,” ujar Stacy seorang remaja berusia 15 tahun yang tinggal di Boston, kepada The Economist.

Kekuatan remaja di era media baru tidak bisa diabaikan. Temuan PBB menyebut, pada 2019 populasi remaja (usia 15 tahun 24 tahun) di seluruh dunia mencapai 1,2 miliar jiwa. Atau setara dengan 16% populasi dunia.

“Remaja sekarang punya cara unik untuk mengonsumsi media. Mereka bisa beralih dari topik berita mengenai Justin Bieber ke Greta Thunberg (aktivis lingkungan belia asal Swedia) yang berpidato di rapat-rapat lembaga internasional,” ujar Samhita Mukhopadhyay, Editor Eksekutif Teen Vogue.

Realitas itu dinilai sebagai penanda perubahan pada berita yang tersaji di media saat ini. Di mana ada perpaduan antara selebritas, politik, dan aktivisme. Sumber berita juga tidak datang dari media konvensional saja melainkan dari postingan online maupun meme.

Pada bagian penting ulasannya, The Economist menyebut bahwa kaum muda adalah masa depan, terutama bagi bisnis media. Tantangannya tinggal berpulang pada media-media konvensional untuk beradaptasi dengan perilaku mereka dalam mengkonsumsi informasi.

Karena itu, Ofcom, regulator media milik Pemerintah Inggris, menyebut bahwa lembaga penyiaran publik akan menghadapi ancaman keberlangsungan bisnisnya di masa depan jika tidak dapat melibatkan kaum muda secara memadai.

62