Palembang, Gatra.com – Kehidupan masyarakat pesisir di negara maritim seperti halnya Indonesia merupakan bagian dari pembangunan peradaban bangsa. Demikian pesan yang ingin disampaikan pematik diskusi acara nonton bareng (nobar) film The Bajau, Julian Junaidi, Sabtu (12/1) malam.
Dalam film berdurasi hampir dua jam itu mengangkat bagaimana kehidupan suku Bajau (Bajo) yang merupakan masyarakat berkehidupan laut dipaksakan menjadi warga daratan. Konsep membangun peradaban yang malah mengesampingkan kemampuan alami masyarakat ialah langkah merugikan. Apalagi, adanya desakan izin pertambangan mengakibatkan ruang hidup warga kian terhimpit. Pemerintah seolah memaksakan konsep pembangunan dengan mengesampingkan pertimbangan kultural hingga terdesak kepentingan tambang,
“Sebenarnya konsep memaksakan ini juga terjadi di Sumsel, misalnya bagaimana kota Palembang ialah kota air namun malah dibangun tidak berdasarkan konsep demikian, misalnya mengubah fungsi rawa (penimbunan) yang berujung di mana-dimana terjadi banjir,” ujar Julian yang lebih akrab dipanggil Polong.
Konsep-konsep desakan pembangunan tanpa memperhatikan kemampuan alam sebagai penyangga kehidupan ini juga bisa menjadi gambaran bagaimana masyarakat pesisir di Sumsel mempertahankan identitasnya.
“Di Sumsel juga ada masyarakat pesisir yang kehidupannya juga membentuk budaya pesisir yakni berdasarkan kearifan lokal. Beberapa komunitas anak muda di luar negeri menolak menerapkan modern (postmodernisme) dalam kehidupannya. Kembali mengenal alam, atau kembali komunal ialah upaya yang masif dilakukan,” ungkapnya.
baca juga : https://www.gatra.com/detail/news/456117/ekonomi/masyarakat-tuntut-setop-tambang-nikel-di-wamonii-
Ulasan masyarakat pesisir di Sumsel juga disampaikan salah seorang peserta diskusi, Ali Goik. Dikatakannya kehidupan masyarakat seperti halnya di Sungsang, Tanah Pilih dan kabupaten yang memiliki bentang pantai dan pesisir, sebenarnya sama kondisinya seperti masyarakat Bajo. Kehidupan masyarakat yang dibangun atas dasar peradaban perairan harusnya didukung dengan berbagai pemenuhan kebutuhan dasarnya. Ironisnya, setelah masyarakat dipaksakan berkehidupan darat, pembangunan malah tidak mendukung seperti desakan izin-izin pertambangan, perkebunan sawit dan HTI.
“Masyarakat secara luas, terutama masyarakat pesisirnya juga hendaknya mampu mempertahankan identitas. Konsep mempertahankan identitas bisa dilakukan melalui budaya dan berkesenian,” ujarnya.
Sebenarnya, sambung Ali, himpitan ruang ini pun tidak hanya terjadi di masyarakat pesisir, sejumlah masyarakat yang hidup di hutan di Sumsel seperti suku Kubu juga terhimpit desakan perizinan seperti halnya izin pencanangan jalan kereta khusus tambang yang akan membelah hutan, seperti di Musi Banyuasin. “Saat ini pun, kami (masyarakat sipil) terus menolak proyek pembangunan jalan tambang di hutan alami Sumsel ini,” ucapnya.
baca juga : https://www.gatra.com/detail/news/404212-Koalisi-Anti-Perusakan-Hutan-Aksi-Tolak-Jalan-Tambang-Batubara
Acara nonton bareng yang diinisiasikan oleh komunitas media dan literasi di Palembang juga menggelar penggalangan dana bagi masyarakat Bajo.